Pages

Monday, July 6, 2015

28.TOUR de ASIA_Phnompen kota hantu

Ternyata malam tadi dan sepanjang jalan dalam perjalanan ke  kota  Phnompen kami banyak menelusuri jalan perkampungan muslim Khampong Cham,Kandal dan Kampong Tuol dari suatu suku bangsa Champa yang besar pada abad ke 11 dan juga mempunyai hubungan baik dan kekerabatan dengan kerajaan sri wijaya Palembang dan Majapahit di Jawa,tetapi sekarang mereka kehilangan tanah airnya dan hilang dari peta dunia  yang dulu berada di daerah vietnam tengah dg kota ibu kota nya Indrapura atau sekarang Vient sampai selatan setelah di invasi berkali kali oleh bangsa vietnam dari utara dan bangsa khmer dari barat yaitu di abad ke 1656 masehi.
Penduduk dan raja yang dulu hindu dan sudah memeluk islam di habisi besar besaran dan ada juga yang di jadikan pekerja paksa atau budak,beberapa yang sempat melarikan diri  terpencar ke beberapa negri seperti ke pesisir Melaka,Indonesia,Thailan dan Cambodia
Yang di kamboja ini mereka berbaur dengan muslim dari Jawa dan bangsa khmer dan dalam pembauran ini mereka dikenal dengan Moslem Khmer.
Mereka banyak ber profesi sebagai pedagang,petani atau nelayan,karena perbauran tersebut rasanya saya seperti di kampung halaman sendiri,cara bercocok tanam sawah ladang yang sama dengan di indonesia dan hewan peliharaan sapi dan kerbau sama seperti di sumatra,tidak pernah aku temukan ternak babi mulai border di Ha tien sampai di kamphong Cham ini.
Beberapa orang tua yang sempat ku jumpai dan sapa dengan bahasa melayu mereka sedikit bisa mengerti,aku makin tertarik dan ingin tahu tentang hubungan bangsa Cham ini dengan orang Melayu atau Minang kabau,dalam hati aku berjanji untuk mengunjungi saudara kita tersebut lagi di phnompen nanti.
Tiupan angin memperberat kayuhan kami hingga jam 3 sore suasana kota sudah mulai terasa dengan banyaknya arus kendaraan,jam 6 sore kami memasuki kota dan hari sudah mulai gelap kami berhenti dan berusaha melihat google map mencari guesthouse murah di jalan 111 sebagai mana yang direkomendasikan oleh Juliant seorang pesepeda germany yang ketemu kami di perjalanan dekat Kandal,tiba tiba seorang pemuda menghampiri kami dan sepertinya ingin tahu kesulitan kami,dia menyapa dengan bahasa inggris yang lumayan fasih dan bisa dimengerti,dia berusaha menunjukan arah tapi karena gelapnya malam agak sulit bagi kami memahaminya dan dengan ramahnya dia mengajak kami untuk mengikuti sepeda motornya dari belakang.
Tepat pada penunjukan spedo meterku di angka105km kami menemukan guesthouse Revouth di 111strt.
Seninn 22 Desember, hari pertama di phnompen kami pergi ke KBRI Phnompen di jalan Oknha nhek tioulong.
Kunjungan kami ke KBRI Phnompen disambut oleh Pak Ikhwan beserta staf lainnya dan Kebetulan hari itu adalah hari ibu atau Mother Day,jadi ibu ibu juga sedang mengadakan ceremonial mother day dan juga ada yang menjemput anak anaknya yang selesai belajar sekolah. Kelihatan akrab sekali masyarakat kita di kbri waktu itu terasa kita seperti berada di Indonesia,anak anak dan ibu ibu begitu surprise mengetahui kami bersepeda ke Phnompen itu,mereka serius sekali mendengar pengalaman petualangan kami ke 7 negara.
Maka jadilah kami waktu itu seperti penyamun di sarang perawan..eeh kebalik ya...wkwkkk ...
Siangnya sewaktu mau pulang ibu Markus mengundang kami makan siang di restorannya.
Kami diantar pak Ikhwan ke restoran yang berlokasi di jl 35str Toul Tampuong,aku terkesima dan bangga juga sebagai orang Indonesia melihat tampilannya yang elegant serta nama nya yang unik yaitu "Restoran Sumatra" Pengunjung umumnya dari kantor kantor kedutaan yang dekat disitu kemudian turis asing.
Saya dan joker disuruh pilih menu dan terlihat cukup banyak menu makanan Indonesia maupun eropah.
Aku makin kagum melihat banyaknya pengunjung waktu itu ditambah a
Lagi dengan sosok pak Markus yang bercerita pengalamamnya meniti sukses seperti sekarang,dengan tekad dan keyakinan.
5 tahun yang lalu beliau datang ke Phnompen dan mulai membuka warung kecil di daerah yang baru saja dilanda konflik perang saudara itu. Dengan keyakinan dan keuletan beliau dibantu istri sekarang sudah berdiri restoran Sumatra yang identik dengan masakan Indonesianya. Aku bertanya pada Pak Markus "kenapa di namakan restoran Sumatra",pak Markus Dwinanta yang berasal dari daerah gunung kidul itu mengatakan warga Kamboja sangat familiar dengan pulau sumatra karena ada satu lagu lokal yang sangat populer waktu itu yang berjudul "selamat tinggal Sumatra" bercerita tentang seorang pemuda Kamboja yang mencintai gadis Sumatra,dari situlah ide untuk nama restoran yang cukup populer di kota Phnompen kamboja. Setelah makan siang disitu dalam hati saya berkata ini lah yang hilang selama dua bulan ini dan sekarang aku sudah menemukannya lagi oleh karena itu sangat salah saya kalau tidak memberi tahu sahabat bahwa makan di situ sangat maknyuuuus...
Kelangkaan masyarakat muslim dan hubungannya dengan dengan kekejaman polpot semasa berkuasa membuat keinginanku makin besar agar bisa bertemu dengan komunitas muslim Champa.
Aku mencari lokasi masjid di Phnompen ini melalui google search tapi tidak temui,akhir kami pergi ke 
Museum Genosida Tuol Sleng.
Untuk masuk ke meseum,kita harus membeli ticket masuk seharga 12000rial atau us$ 3.
Meseum yang dulunya gedung sekolah dirobah oleh rezim polpot menjadi camp penjara bagi lawan lawan politiknya. Di saat rezim polpot semua sekolah dihapuskan dan kaum terpelajar,dokter,insinyur,guru,akuntan dan seluruh profesional  dipenjarakan,kerja paksa dan yang memeluk agama nasibnya juga sama yaitu dibantai atau kerja paksa di ladang ladang desa. Anak anak di pisah dari orang tuanya dan di pelihara di barak khusus,sedangkan ibu dan bapaknya juga di pisah dan disuruh bekerja ke sawah.
Kota kota dikosongkan dan penduduknya di pindah ke desa untuk mengerjakan sawah ladang. Phnompen saat itu menjadi seperti kota hantu.
Pimpinan Khmer Merah Pol Pot memang benar-benar kejam,tidak berperi kemanusiaan. Pria bernama asli Saloth Sar ini selama menjabat sebagai Perdana Menteri Kamboja (1976-1979) telah membunuh jutaan rakyat tak berdosa, konon jumlahnya sampai sepertiga warga Kamboja. Membunuhnya tidak menggunakan senjata api, karena akan boros peluru, tetapi agar ngirit dengan cara menyiksa, sehingga korban mengalami penderitaan tak terperikan.
Gambaran kekejaman Pol Pot dan para pengikutnya bisa disaksikan di Genozide Museum atau Museum Genosida di Toul Sleng Prison Phnom Phen, Ibukota Kamboja. Waktu itu Pol Pot memang memerintahkan untuk membunuh dengan cara menyiksa para musuhnya, orang yang dianggap musuh atau yang tidak sejalan dengan doktrinnya. Mulai dari anak-anak, bahkan bayi masih merah sampai orangtua renta.
Sejumlah alat penyiksaan juga dipajang di sana.
Ada sekitar 15.000 orang yang pernah ditahan di Tuol Sleng. Dari jumlah itu, tak lebih dari sepuluh orang yang selamat lainnya dibantai secara keji.
Tempat yang diberi nama kota Penjara 21 ini berupa bangunan bertingkat tiga dengan model huruf ‘U’ yang awalnya merupakan lembaga pendidikan, sehingga bangunannya berupa lokal-lokal seperti kelas. Namun bangunan tampak kumuh dengan cat tembok yang sudah sangat usang.
Di tiap-tiap pintu masuk kamar terdapat gambar dan penjelasan dalam Bahasa Khmer. Tulisan tersebut meminta para pengunjung untuk tenang, tidak tertawa, dan bergurau guna menghormati arwah para tahanan yang pernah ditahan, disiksa dan dibantai di tempat itu.
Meski seperti kelas, jangan anda bayangkan di dalamnya ada meja-meja tempat belajar. Di bangunan sisi kiri, di tiap lokal terdapat tempat tidur besi. Di dekatnya ada besi, atau apa saja yang dijadikan alat untuk menyiksa orang. Di salah satu dindingnya terdapat foto besar manusia yang sedang terkapar setelah disiksa. Meski gambar tidak tajam, dan masih hitam putih, namun cukup menggambarkan kondisi korban.
Kami terus ke ruang-ruang bagian tengah antara lain berisi foto-foto para tahanan. Mereka di foto sesaat usai dibantai saat proses interogasi. Dipajang juga foto istri salah seorang bekas menteri rezim Khmer Merah yang oleh Pol Pot dianggap telah mengkhianati dirinya. Di pangkuannya tampak bayi merah. Di belakang kepala perempuan itu sudah terpasang sebuah bor.
Gambaran kekejaman Pol Pot juga direkonstruksikan Vann Nath dalam lukisan yang di pajang di gedung sayap kanan. Van Nath yang pernah ditahan merekonstruksikan kejadian sebenarnya berdasarkan apa yang dia lihat atau direkonstruksi berdasarkan apa yang dia dengar dari jeritan suara ibu-ibu, anak-anak dan bayi saat disiksa. Salah satu gambar memperlihatkan seorang ibu yang merayap di lantai dan meratap-ratap kepada penjaga agar bayinya yang direnggut darinya dikembalikan. Sedang sang penjaga sambil tertawa tidak menghiraukan.
Lukisan lainnya menjelaskan nasib sang bayi. Dalam lukisan digambarkan bayi itu oleh penjaga dilempar ke atas dan saat tubuh bayi itu melayang turun disambut pisau bayonet. Di bawahnya juga tampak tumpukan mayat di pinggir kolam. Ada juga lukisan yang menggambarkan bayi itu dipegang kakinya, diputar-putar dan kemudian dihempaskan kepalanya ke pohon atau tembok.
Ada juga gambar yang menunjukkan seorang tahanan direndam dalam bak kayu dengan kedua tangan terikat dan posisi kepala di bawah. Kemudian, ke dalam bak air dialirkan listrik. Pasti tahanan tersebut kesakitan.
Itu hanya sebagian dari cara Pol Pot menyiksa orang.
Tahanan dari Tuol sleng 21 ini biasanya sekali seminggu dibawa dengan truck dengan diberi tahu bahwa segera akan di bebaskan dan dipertemukan dengan keluarganya kemudian dia disuruh naik truk dengan mata tertutup lalu dibawa ke killing field,sampai di killing field semua disuruh turun truck lalu terjadilah pembantaian dengan cara kepalanya di pentung atau ada yang ditusuk bayonet demi mengirit peluru untuk peredam jeritan musik di loud speaker di bunyikan keras keras.
Perutku terasa mual membayangkannya dan hingga pulang ke guesthouse perasaan ku masih belum nyaman seperti menonton film Dracula.
Rabu 24 Desember ini adalah hari terakhir kami di phnompen karena besok kami akan pulang ke Indonesia,pak Rojali seorang Muslim Cham yang yang kemarin bertemu sewaktu kami sedang kebinggungan mencari jalan pulang hari ini menawarkan akan membawa kami ke perkampungan Cham di jalan no.5 Km9 menuju border Thailand.
Kami yang tanpa helm boncengan bertiga  di sepeda motor tua,joker duduk di tengah dan aku dipaling belakang,pantatku sedikit agak keluar dari jok dan kaki kadang kadang tergantung karena tidak ada pijakan,hal semacam ini terlihat biasa di jalan raya Phnompen,sepeda motor honda keluaran 1984 dengan raungan mesin tuannya meluncur di jalan dengan terseok seok diantara kendaraan lain,udara pagi yang masih segar kami berhenti sebentar di depan King palace dipinggir sungai tongle sap ,jejeran bendera bangsa dunia menambah keindahannya,aku memandang merah putih yang berkibar diantara bendera lain,aku bangga dengan kibarannya yang anggun,perasaan kita akan berbeda melihat merah putih di negri sendiri dibandingkan merah putih di negri asing aku merasakan kerinduan tanah air saat itu.
Kami melanjutkan perjalanan ke kampung muslim di daerah jalan 5 dan km 9 arah border vietnam Thailand,arus kendaraan mulai padat kami terus menelusuri pi gngir sungai sekali sekali terlihat wanita yang berjilbab juga laki laki pakai sarong atau gamis,dan akhirnya berhenti disuatu masjid Nur Ihsan.
Aku masuk ke pekarangan mesjid dan bertemu dengan warga yang tinggal disamping mesjid tersebut dan salah satunya pak Bukhori 38 tahun,Bukhori pernah tinggal di penang Malaysia selama 6 tahun   mengikuti pamannya sebagai pengungsian diwaktu khmer merah berkuasa.
Ibu bapaknya selamat sampai sekarang tapi bebeberapa kerabat dan saudaranya terbunuh.
Kami juga sempat bertemu tetangga pak Bukhari yaitu mas Mulyono  seorang indonesia asal Jogja yang sudah kawin dengan gadis muslim champa dan sudah menetap selama 2 tahun di Phnompen.
Mulyono pernah tinggal di penang Malaysia dan disitu dia bertemu Istrinya yang berasal dari Kamboja hingga kawin dan akhirnya memutuskan untuk menetap di Phnompen sebagai tukang Las.
Azan dzuhur kami meninggalkan keluarga Bukhari dan Mulyono untuk sholat di Surau dekat rumah pak Rozali.
Suasana menjelang sholat dzuhur persis seperti di pedesaan Indobesia atau Malaysia,warga berpakaian laki lagi berpakaian gamis dan beberapa ibu ibu datang ke surau dengan mukenah,ternyata hari itu ada warga yang meninggal dan akan di sholatkan di surau,sewaktu memasuki surau aku di beri amplop berisi uang 1000rial kamboja,agak kaget juga maksudnya untuk apa amplop tersebut lalu aku tanya pada pak Rozali dan ternyata itu adalah kebiasaan ahli waris untuk membagikan uang sedekah pada jamaah kalau ada saudaranya yang meninggal dan uang itu bisa kita gunakan atau disedekahkan lagi tapi waktu itu aku memasukan lagi amplop tersebut ke kotak amal yang ada di surau.
Selesai sholat zuhur,jamaah duduk menunggu beberapa saat menunggu jemaah dari mesjid lain yang akan ikut mesholatkan jenazah.
Saat menunggu tersebut mereka menyapa dan ramai beri salam pada kami lalu pak Rozali memberi tahu identitas kami pada beberapa jamaah,terlihat mereka makin senang sekali dan berusaha menyalami kami walaupun tidak bisa bercerita banyak.
Pulang sholat jenazah kami langsung kerumah pak Rozali diseberang jalan,dirumah ibu Rozali sudah persiapkan makan siang dengan ayam goreng dan sayur Tom yam untuk kami..Alhamdulillah kami tidak usah repot repot lagi mencari makan halal siang itu.
Kami pamitan pada keluarga pak Rozali dan langsung diantar lagi menuju gueshouse untuk ambil sepeda guna di Package untuk dibawa pulang ke Pekanbaru besok pagi.namun ini bukanlah perjalananku yang terakhir karena in sha Allah masih banyak lagi mimpi yang perlu di wujudkan.
Note:foto foto ada di fb TASMAN JEN




No comments:

Post a Comment