Pages

Wednesday, February 24, 2016

13.Tour de Km0_mengejar pulau Impian.


Accomplish mission

Sabtu 13 Februari 16
Pagi yang indah kurasakan,kalau di izinkan Allah sebentar lagi kami akan meraih impian menduduki ujung indonesia paling barat dititik kilometer nol Sabang.
Kawan kawan sibuk memisah barang yang akan dibawa dan yang akan dititip dirumah pak Yusuf seolah olah mereka tidak pernah merasa capek.
menuju Uleleu

Heri Santi sahabat gowes dari aceh sudah menjemput dan akan mengantar kami ke dermaga ferry Uleleu,tepat jam 7 pagi kami keluar rumah di udara yang cerah,sepeda kami menggelinding lagi di jalan mulus kota serambi mekah ini,trafik sudah mulai ramai dengan kendaraan anak sekolah dan masyarakat untuk beraktivitas di hari sabtu itu.Melihat masyarakat Banda aceh aku merasa berada di Kuala lumpur mungkin ini dikarenakan kaum hawa nya yang umumnya berkerudung dan kaum prianya jarang terlihat bercelana pendek kecuali anak anak,aku sendiri selama ini biasanya bersepeda memakai celana pendek sebatas lutut yang syar,i menurut aturan Islam tapi supaya lebih aman aku memakai celana panjang walaupun kurang nyaman untuk dibawa bersepeda.
Kami menuju keutara ke pinggir pantai yaitu Daerah uleelheu,daerah ini pernah kudatangi di tahun 2005 satu minggu setelah bencana Sunami yang waktu itu bertugas jadi relawan Bulan sabit merah,bencana Tsunami telah memporak porandakan dan merata rumah penduduk dengan tanah, serta menjadi tumpukan sampah muntahan tsunami,jenazah korban yang bergelimpangan sudah tidak sanggup lagi untuk dikumpulkan waktu itu karena jalan yang aku tempuh saat ini sangat sulit ditembus,tapi sekarang kami datang sebagai turis dan sangat bersukur melihat perubahan dengan bangunan dan infrastruktur yang baru dengan penataan makin rapi dan bersih seakan disini tidak pernah terjadi peristiwa yang menyedihkan beberapa tahun silam.
Kami sampai di dermaga ferry jam 09.00 pagi lalu Heri santi dan pak Ben yang baru kami kenal membantu kami beli tiket ferry ke Sabang seharga rp25ribu/orang dan rp11.500/sepeda,jam keberangkatan ferry yang masih 2 jam lagi aku gunakan untuk menulis catatan perjalanan yang akan di kirim ke sebuah media cetak di Pekanbaru.
Kapal berangkat dari uleelheu Jam 11.10 lalu kami mencari tempat yang nyaman di ruangan duduk,penjual makanan hilir mudik didepan kami musik dangdut terus mengalun,turis lokal lebih berpenampilan rapi kadang lebih "manja" dan parlente.
ferry ke Sabang

Dari tampilan dan tingkah penumpang terlihat menunjukan banyak diantaranya sebagai turis lokal ke pulau Sabang dan beberapa terlihat juga turis asing atau backpacker yang biasanya mencari penginapan murah meriah dan belanja irit pakaian agak kumal dan seadanya,sedangkan kami sendiri termasuk semrawut seadanya dan katagori gelandangan lokal...hehe
Sampai di pelabuhan Balohan Sabang jam 13.12 cari makan siang diluar pelabuhan seharga Rp15ribu prasmanan pakai ikan goreng.
Selembar peta Sabang weh island yang didapat dari pusat informasi turis di pelabuhan Balohan ini kami gunakan sebagai pedoman rute perjalanan yang akan ditempuh ke titik nol dan dari google map aku cek jaraknya hanya 19 km dari dermaga,dengan penuh keyakinan karena perjalanan pendak apalagi menyusuri pinggir laut dengan jalur datar aku perhitungkan dalam dua jam atau setelah ashar kami tentu sudah sampai di titik nol
Selesai sholat Dzuhur di masjid Jamiq dekat pelabuhan kami mulai mendayung sepeda kearah utara dan kira kira 2km diluar kota terlihat tanjakan menjulang yang menciutkan nyaliku sehingga aku dan kawan kawan sedikit ragu apakah jalan yang akan kami tempuh sudah benar,setelah memastikan pada salah seorang penduduk yang lewat kami baru berani melanjutkan pendakian ini,udara siang yang panas sedikit teredam oleh rimbunnya pepohonan hutan dikiri kanan jalan,desah nafasku yang kencang dan bunyi serangga hutan mengiringi kayuhanku saat itu.
Lebih kurang 3km kita mencapai puncak dan lebih jauh kedepan ketemu perkampungan aneuk laot,kemudian dari sini sepeda meluncur tajam dikiri terlihat danau laut tawar aneuk laot lalu tanjakan lagi merayap ke Krueng raya dan disebelah kanan dari puncak terlihat kota Sabang dengan pelabuhannya. Kami susuri terus sisi barat jalan rolling bagai di punggung naga yang terasa tidak habis habisnya.
Setiap melihat tanjakan tajam ada perasaan ciut dihati,perasaan bosan karena lapisan bukit yang rasanya tidak pernah selesai,selalu ada lagi bukit dengan tanjakan berikutnya.
Kota Sabang dikejauhan

kadang kadang kawan tidak percaya diri apakah masih di track yang benar atau sudah nyasar,aku tidak memperkirakan track yang begitu extrem dengan tanjakan yang menjulang dan seakan akan tidak habis habisnya.Ditanjakan daerah ujung Batemeutiyeng tiba tiba rantai sepeda ucup putus,kami tertahan kira kira 15menit untuk perbaikannya,disini aku menyadari kekeliruan terlalu menganggap remeh medan yang akan ditempuh,aku terasa capek sekali dan harapanku saat itu didepan bisa ketemu pantai lalu mencari tempat untuk menginap malam itu.
Rantai putus

Kami melanjutkan perjalanan masih saja diperbukitan dan dibawahnya terlihat pinggir pantai,disuatu pertigaan terbaca penunjuka arah ke pantai Iboih kami ikuti arah ini yang menurun panjang seakan kanvas rem sepedaku bisa habis menahan terjalnya.
Sampai di daerah Gapang,sayup sayup aku mendengar kumandang azan Ashar,aku lihat jam 15.45 dan dari speedo meterku terlihat jarak tempuh baru 17km berarti 12km lagi ke titik nol dengan medan yang masih dipegunungan,tiga jam sudah kami mendayung beratnya terasa lebih satuhari perjalanan, pada satu persimpangan secara kebetulan sepeda opung Yosef bocor,disini kami berhenti dan memutuskan untuk mencari penginapan di Gapang beach,kami masuk gerbang Gapang beach di pinggir pantai yang bersih,disisi jalan kanan berderet cottage dan bungalows,aku menanyakan rate cottage ternyata rp 400ribu/malam kawan kawan langsung terdiam lesu karena terasa mahal untuk ukuran kantong kami.
menjelang Iboih

Di paling ujung jalan pantai ketemu Gapang western beach Bungalows posisi menghadap ke pantai,aku melihat beberapa turis asing duduk duduk di kursi santai becenkrama dan menikmati tiupan udara dingin laut dengan matahari yang mulai memerah tembaga.
Gapang western beach Bungalows

Aku menuju recepsionist yang merangkap penjaga cafe dan toko soufenir yang ada di lanti satu,harga kamar RP100ribu/malam dan bisa diisi 2orang,cukup murah dengan fasilitas ait tawar yang melimpah,kamar berada di tingkat dua berdinding gdek bambu tapi bersih dan tenang,banyak turis asing yang nginap disini,tempat yang masih alami dan tanpa gedung gedung menjulang atau hotel hotel berbintang,kami berencana istirahat disini sampai senin lusa.

Kamar ukuran 3x3 meter yang berlantai papan dan dilapisi plastic tile kemudian dinding anyaman bambu  mempunyai satu jendela menghadap ke pinggir laut,dilantai ditengah kamar ada dua spring bed,desiran ombak dan angin pantai terdengan sampai kekamar sensasi yang begitu alami saat itu.
nasi goreng

Selesai mandi dan mencuci pakaian kami duduk di cafe menikmati teh panas dan nasi goreng,awan hitam yang berat terlihat bergayut diufuk barat dan tidak berapa lama hujan yang cukup besar turun mengguyur.Kami berencana istirahat sambil menikmati keindahan pantai ini sampai esok lusa
Gapang

Senin 15 Februari 16.
Seharian kemarin Minggu 14 februari,aku hanya jalan jalan di pantai lalu duduk dipinggir pantai sambil browsing dan opung bermain smorkling,betul merupakan hari istirahat yang istimewa hari itu.
Jam 6.30 pagi ini kami mulai bergerak dari Gapang beach menuju titik kilometer nol yang berjarak 13km lagi.
Menjelang Desa Iboih sepeda meluncur diturunan dan melipir ke pinggir pantai,masuk disini banyak kita temui cattage dan homestay murah,kadang kadang kita papasan dengan turis turis asing yang bersepeda motor dan ada juga yang sedang trecking ke arah titik nol,Iboih dikenal dengan pantainya yang indah lalu lautnya termasuk yang terbaik di dunia untuk para penyelam,banyak turis asing mampir kesini dengan agenda diving saja.
Melewati Iboih kembali tanjakan maik turun, kita disuguhi hutan wisata Sabang yang teduh. Dengan jalannya yang tak terlalu lebar namun beraspal mulus. Bahkan karena rimbunnya hutan wisata ini, cahaya matahari pun tak bisa sepenuhnya sampai ke bawah,jalan mulai menanjak menyeberangi beberapa lapis bukit yang berkabut,keringat bercampur embun pagi membasahi badanku,bunyi teriakan monyet yang bercanda dalam hutan dan kicauan burung liar menambah indahnya pagi itu dan sedikit mengurangi capek.
Tanjakan sebelum titik nol

Aku lihat speedo meter yang baru menunjukan 7km tapi capeknya sama dengan perjalanan 50km.
Di stasiun radar TNI aku sempat dikejar 4 ekor anjing piaraan tentara,ini kali pertama aku melihat anjing selama di aceh. Disatu puncak tanjakan aku melihat beberapa warung dan lebih jauh lagi terlihat tanda parkir menuju tugu kilometer nol,dengan perasaan lega aku turun dari sepeda dan menuntunnya disepanjang jalan yang kiri kanannya dipenuhi warung tidak permanen tak ubahnya seperti barak barak pekerja. Beberapa pohon besar masih tetap bertahan kehijauan walaupun pemandangan warung warung kayu yang ada sangat tidak nyaman dipandang,mudah mudahan kedepannya pemerintah sudah bisa menata agar lebih enak dan nyaman lingkungan. ..

Sebuah bangunan tugu yang sedang dibangun terlihat menjulang setinggi lebih kurang 30meter,beberapa pekerja sedang sibuk menyelesaikan bangunan tersebut,disebelah barat ada tulisan besar kilometer nol warma orange,ini lah titik paling ujung barat Indonesia yang selalu diidam idamkan orang termasuk aku untuk mencapainya. Alhamdulillah hari ini mimpiku sudah kesampaian,kami bersalaman dan saling berangkulan gembira dan haru menyambut keberhasilan setelah sebulan berjuang dalam suka dan dukanya perjalanan bersepeda. Hari ini rasa letih itu rasanya sudah terbayar,aku memandang Laut Andaman terhampar biru dengan ombaknya yang menderu dari area tugu yang saat ini sedang di ganti baru.
Angin kencang dan hujan besar tiba tiba turun,aku berlindung kewarung terdekat sepeda kubiarkan parkir di nol kilometer itu,ucup mencoba urus certificate pada petugas wisata swasta yang ada disitu mengatakan bahw kalau ambil disini ongkosnya rp30 ribu rupiah,Akhirnya kita tidak jadi ambil certificaye disitu tapi Opung akhirnya  ngga sabar ambil certificate disitu dan bayar langsung rp30ribu.
Jam 11.30 sehabis makan mie rebus diwarung yang ada disitu kami langsung meluncur lagi kearah kota Sabang,rute yang tadi kami jalani kini terpaksa ditelusuri lagi dengan berat hati karena pengulangan rute yang sama memang kurang menarik.
Pengalaman yang lucu dan konyol terjadi sewaktu aku menurun jalan kearah Iboih disatu tikungan tajam terlihat segerombolan monyet di jalanan,ditikungan menurun dan tajam itu aku harus perlambat sepeda agar tidak terpleset atau nyelonong ke jurang, lalu beberapa monyet besar berjalan kearahku mengggertakku sambil mengerang memperlihatkan taringnya,aku yang sendirian waktu itu membayangkan akan dikerubuti monyet lalu begitu sepeda melewati tikungan maut tadi aku kayuh sekencang kencangnya beberapa saat kemudian datang mobil dari belakang dan sopirnya menyapaku sambil cekikan "aman pak monyetnya udah pergi" aduh aku jadi malu tapi bersyukur juga karena ada mobil tadi monyetnya ngga jadi mengerubutiku.
Jam 16 sore kami memasuki kota Sabang terlihat dermaga kapal disebelah kiri dan makin jauh lagi kita memasuki jalan Yos sudarso,lalu kami berlima berkunjung ke Polres,kami disuruh tunggu oleh polisi piket lalu tidak berapa lama kemudian bapak petugas piket mempersilahkan kami masuk ke ruangan Kapolres,aku agak kikuk juga mengingat tampilan kami yang sudah kumaĺ dan aroma yang mungkin menyengat di tubuh.
Satu persatu kami disalami oleh Kapolres ibu akbp dra Nurmeiningsih sh,ibu kapoles yang ramah dan candanya menghilangkan kepenatan kami saat itu. Tawaran beliau pada kami untuk menginap dirumah dinasnya beberapa hari langsung kami iyakan,selesai dijamu makan lalu diberi "amplop"....!! Woow luar biasa,bisa beli oleh oleh buat pulang ini bisik kawan kawan,terimakasih entah berapa kali diucapkan kawan kawan saking bahagianya..hehe
kami diantar anggotanya ke rumah dinasnya di Jl.Diponegora.
di rumah Kapolres

Selasa 16 Februari 16
Pagi sehabis ngopi aceh kami diajak oleh petugas jalan jalan  yang akan mengantarkan kami dengan mobil untuk city tour.
Pertama ke Pantai Sabang fair disini kita bisa duduk duduk menyaksikan indahnya samudra hindia serta melihat meriam kuno peninggalan Portugis lalu kami lanjut ke Sabang hill untuk melihat kota sabang dari ketinggian kemudian kami lanjut ke pantai sumur tiga dengan keistimewaannya sumur air tawar yang terletak di pinggir pantai kemudian disekitarnya ada cotage cotage terletak dipinggir cadas jurang yang disambut pantai pasir putih menghadap samudra Hindia yang biru ,kami mampir disebuah cafe dan pesan kopi sambil menikmati samudra yang biru,beberapa turis asing terlihat berbaring malas malasan di teras cottage lalu ada yang pergi ke pantai untuk mandi dan snorkling.
Rabu 17 Februari 16.
Subuh di sabang lebih siang jam 05.30 selesai packing kami pamitan pada ibu kapolres lalu beliau menyerahkan certificate kilometer nol. Kami menuju pelabuhan Ferry balohan,jam 8 pagi ferry langsung berangkat menuju Banda Aceh dan sampai di pelabuhan Ulelheu Banda aceh.
Pak yusuf mengontekku bahwa beliau menunggu kami di pelabuhan ferry Ulelheu lalu pak Derry teman Abasri juga menjemputkami,kemudian Heri Santi dan pak Pen semuanya menunggu kedatangan kami terasa istimewa sekali rasanya dijemput seperti itu.
Pak Derry,heri santi dan pak Pen akhirnya menemani kami ke mesium pltd terapung.
Petugas petugas yang ramah menunggu kami di gerbang masuk dan istimewanya memasuki area ini tidak dipungut biaya.
Kedhasyatan gelombang tsunami yang menerpa pesisir utara Banda Aceh pada Bulan Desember 2004 yang lalu ternyata masih meninggalkan jejak. Tidak hanya masih terbayang dalam ingatan, tsunami juga meninggalkan jejak berupa monumen. Monumen yang menjadi peringatan bagi siapapun terhadap dahsyatnya kekuatan alam.


Monumen PLTD

Salah satunya adalah Monumen PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) Apung di Desa Punge, Blancut, Banda Aceh. Sesuai namanya, kapal ini merupakan sumber tenaga listrik bagi wilayah Ulee Lheue – tempat kapal ini ditambatkan sebelum terjadinya tsunami.
Kapal dengan panjang 63 meter ini mampu menghasilkan daya sebesar 10,5 megawatt. Dengan luas mencapai 1.900 meter persegi dan bobot 2.600 ton, tidak ada yang membayangkan kapal ini dapat bergerak hingga ke tengah Kota Banda Aceh.
Ketika tsunami terjadi pada tanggal 26 Desember 2004, kapal ini terseret gelombang pasang setinggi 9 meter sehingga bergeser ke jantung Kota Banda Aceh sejauh 5 kilometer. Kapal ini terhempas hingga ke tengah-tengah pemukiman warga, tidak jauh dari Museum Tsunami.
Dari 11 orang awak dan beberapa warga yang berada di atas kapal ketika tsunami terjadi, hanya satu orang yang berhasil selamat. Fenomena pergeseran kapal ini menunjukkan kedahsyatan kekuatan gelombang yang menimpa Serambi Makkah kala itu.
Saat ini, area sekitar PLTD Apung telah dibeli oleh pemerintah untuk ditata ulang menjadi wahana wisata edukasi. Untuk mengenang korban jiwa yang jatuh akibat tsunami, dibangun monumen peringatan. Pada monumen itu, tertera tanggal dan waktu kejadian dari musibah yang juga menimpa beberapa negara selain Indonesia.
monumen tsunami.

Di sekeliling monumen, dibangun dinding dengan relief menyerupai gelombang air bah. Dari atas kapal ini, pengunjung juga dapat melihat rangkaian pegunungan Bukit Barisan.
Kemudian kami lanjut ke mesium sunami
Museum Tsunami Aceh mulai dibangun pada tahun 2007, diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 27 Pebruari 2009 dan baru resmi dibuka untuk umum 8 Mei 2009.
Ridwan Kamil adalah Architecture dari bangunan yang spectakuler ini.
Fasad Museum Tsunami Aceh terinspirasi dari tari Saman yang menggambarkan hubungan antar umat manusia. Memasuki musium pengunjung akan melewati sebuah lorong yang disebut Space of Fear (Lorong Tsunami), suasana saat tsunami menggulung Aceh akan dirasakan di tempat ini. Aliran air di dinding sepanjang lorong yang sempit dan gelap disertai suara gemuruh air adalah refleksi ketakutan yang luar biasa ketika para korban berlari menyelamatkan diri dari kejaran air bah.kemudian ada sumur doa,lorong cerobong semua menggambarkan betapa mengerikan dan memilukan peristiwa tsunami tersebut.

Fasad Museum Tsunami Aceh
Kami juga menyempatkan diri berkinjung ke masjid Baitul Rahman yang menjadi salah satu benteng penyelamat dan tetap berdiri kokoh diwaktu tsunami,banyak warga yang menyelamatkan diri ke masjid yang kokoh ini.
Sebelum magrib kami sudah pulang menuju rumah pak Yusuf Mahmud di Gapoung peuneng,pak yusuf begitu setia menunggu kedatangan kami dirumah beliau.
Kertas karton sepeda yang sudah disediakan untuk packing sepeda kami langsung kami jajal dengan sepeda,pak yusuf sebagai tuan rumah ikut sibuk menolong kami packing.
Hari ini adalah hari terakhir kami turing dan besok pagi genap satu bulan perjalanan kita tapi perjalanan dan mimpi berikutnya masih menunggu kita,salam sehat buat kita semua dan sampai jumpa di perjalanan berikutnya..amiiin

12.Tour de km0_masuk serambi Mekah

Jumat 12 februari 16
Langsung nanjak di gunung Gerutee sejauh lebih kurang 20km,naik pegunungan yang masih asri suara siamang bersahutan menyambut kedatangan kami ,kadang kadang kendaraan melewati kami, monyet monyet hutan pada bermain di warung warung kosong tersebut,mereka kaget melihat kedatangan ku dan ada diantara monyet tersebut yang coba menggertakku,agak khawatir juga waktu itu,aku berhenti takut dikerubuti,sambil mendorong sepeda aku awasi mereka dari belakang,
mendekati puncak berderet cafe dan warung warung yang tidak ada penghuninya suasananya sepi,
tanjakan ini memang luar biasa jauhnya,beberapa lama kami mencapai puncak
pemandangan yang menakjubkan dari arah puncak pegunungan Guretee kelihatan samudra hindia lebih dekat lagi sebuah teluk lamno dengan dua pulau kecil menambah keindahannya,lukisan alam yang tak bosan bosannya ku pandangi,masyaAllah...hatiku jadi sendu,tiada arti aku dihadapan ciptaanNya yang maha agung, terimakasih ya Allah sudah kau beri aku kesempatan untuk menyaksikan dan mensykuri ciptaanMu...dari puncak ini Aku mohonkan Indinesia yang tentram,damai dan dilimpahi berkah...amiiin.
Dari puncak meluncur tajam sampai di Cok Jeumpa untuk makan siang disebuah warung masakan Aceh,obrolan yang menarik dengan ibu warung bahwa tempat ini diketinggian 200km dengan pantai sejauh 1km,penduduknya 90% hilang jadi korban tsunami dan ibu itu dengan dua anaknya selamat lari ke Bukit terdekat.
Kami lanjut mendayung kita menemui tanjakan pegunungan Kulu,kali ini tanjakan terasa berat karena udara makin menyengat dan perut masih penuh sulot dipaksakan kayuhannya,laju sepeda diturunan bukit kulu langsung disambut oleh Pegunungan Paro,rasa tidak habis habisnya pegunungan ini yang kami lintasi akhirnya sampai di desa Lhoong,disini kami sholat Jumat,disini setelah sholat jumat 2rakaat lalu disambung sholat 4rakaat dzuhur berjamaah,aku ikuti ini kebetulan niatku untuk jamak ashar.
Dari Lhoong jalan datar sampai ke lhok nga kami sudah ditunggu oleh Herry Santi dan juga kami dijemput oleh pak M Yusuf Mahmud sahabat kami sesama pensiunan Chevron.
Dengan didampingi bersepeda oleh santi teman FB dari komunitas sepeda turing Aceh kemudian diikuti pak Yusuf Mahmud mengendarai mobil kami menuju  ke Masjid Baitullah yang selamat dari tsunami di desa Lampuk. Dua belas belas tahun yang lalu atau tujuh hari setelah terjangan Tsunami 25desember 2004 aku pernah berkunjung ke daerah ini menjadi relawan bulan sabit merah,waktu itu daerah ini sulit di jangkau semuanya rata dengan tanah dan hanya Masjid Baitullah ini lah satu satunya yang berdiri kokoh tapi agak sulit menuju ke Masjid tersebutĺ karena jalan yang terhalang sampah sampah kayu dan beton yang di campakan Tsunami dan sebahagian daerah rendah digenangi air,beberapa jenazah masih tergeletak dibeberapa tempat karena baru ditemukan dan belum sempat dibawa truck pengangkut. Sekarang tempat ini sudah tertata baik dengan rumah penduduk dan ada lahan tempat kuburan masal,kami jumpa dengan beberapa turis asing yang menginap didaerah tersebut suasana aceh yang dulu mengerikan sekarang sudah bangkit jadi metropolitan diujung Sumatra.
Sudah hampir sebulan diperjalanan sekarang ditengah kota aku baru merasa berbeda,pakaian kusam dengan kulit hitam tersengat matahari serta beban seabrek disepeda menjadi pusat perhatian saat itu
Kami berlima bersepeda beriringan dijalan lebar dan mulus melewati jembatan yang indah menyeberangi sungai lalu masuk ke depan masjid Baitul Rahman terasa nyaman sekali,mata liar celingak celinguk suasana islami disini para wanita memakai kerudung cantik sekali dipandang....huuuusy...!! Mata jangan liar ntar nabrak..! Aku candai opung,dan opung bilang maklum aja baru keluar hutan lihat sapi terus...wkwkk kami becanda kesenangan ditengah keramaian.
Pria diwajibkan pakai celana Panjang yang menutupi sampai lutut sebagai aurat bagi orang muslim,aku merasa berjalan dikota metropolitan yang islami dan rakyatnya yang makmur.
lalu perjalanan berakhir dirumah pak Yusuf Mahmud di Gampoung pineung.
Kami merasakan sambutan pak Yusuf dan keluarga yang begitu hangat terhadap kami,welcome drink serta beragam kue dihidang untuk kami,dirumah yang indah ini kami mandi sepuasnya dan mencuci kain pakaian kotor lalu hidangan sudah terhidang dengan bubur duren sebagai desserts.
Tidur di kasur empuk malam ini mudah mudahan akan mengembalikan tenaga kami untuk mengejar mimpi ke titik nol Sabang esok hari.
Salam sehat

11.Tour de km0_Nangro Aceh Darusalam

Jumat 5 februari 16.
Berangkat dari masjid Amaliah Jl Air bersih Sidikalang,jamaah tablig yang sangat ramah melepas keberangkatan kami.
Jalan propinsi menuju aceh pagi ini dilewati beberapa kendaraan angkot dan sekali sekali truck besar antar propinsi yang berjalan lambat dan meraung raung di tanjakan Desa Sibande,sebagian kawan sudah duluan tinggal aku dibelakang sambil mengekor truck sambil menikmati asap knalpotnya yang nauzubillah menyesakan nafasku yang tersengal sengal di tanjakan itu.
Desa Sibande di kabupaten pakpak Sumut terlihat beda dengan kabupaten Dairi yang didominasi gereja dan kuburan suku batak yang besar hampir disepanjang jalan tapi begitu masuk kabupaten pakpak terlihat beberapa masjid dan penduduk wanitanya berpakaian muslim,aku mampir istirahat di lapak pak Manik penjual pisang yang berbahasa pakpak,terdengar seperti bahasa batak tapi menurut opung dia tidak bisa mengerti karena jauh berbeda dengan bahasa batak.
Sepeda aku pacu lagi mengejar opung dan Abasri yang sudah tidak kelihatan didepan,jalan mulus melintasi bukit barisan seperti roller coster di punggung naga yang tak habis habisnya.
Di desa terakhir Tanjung Mulia Kabupaten pakpak Sumut aku melihat sebuah gapura selamat datang di propinsi Aceh sementara di spanduk yang melintang terbaca selamat datang di provinsi Alabas aku belum paham provinsi mana harus disebut saat ini. Gozy yang terakhir muncul bercerita bahwa ban luar sepedanya robek dan bocor sehingga dia harus mengganti ban dalam baru dijalan.
Kelima teman berkumpul mengambil foto di batas aceh dan sumut ini,lima orang TNI ikut bagian dengan kami.
Opung yosef terus melanjutkan ke subilussalam dengan harapan tidak kemalaman dan bisa membelikan ban luar nya gozy,sedang aku berempat sholat jumat di Masjid perbatasan yang ada di desa Lae Ikan ini.
Dalam perjalanan dari perbatasan desa Lae ikan menuju sabulussalam masih dalam kondisi jalan yang bergelombang dan menanjak mendayung di hutan dimana  tidak ada perkampungan sempat diguyur hujan lebat,aku bersepeda paling belakang,pada posisi 20km sebelum kota sabulusalam ban sepeda Gozy kembali bocor,dalam hujan lebat saya dan Gozy mengganti ban lebih kurang 15menit lalu lanjut hingga sampai di desa penanggalan,hujan masih belum berhenti lalu kami menuju rumah makan sederhana sebagaimana diinfokan opung di sms,disitu sudah menunggu opung yosef,Abasri dan ucub.
Jam 15 sore kami baru bisa makan siang di Rumah makan sederhana kepunyaan ajo Rudi asal Pariaman.
Rasanya tubuh sudah minta istirahat sehabis perjalanan yang lumayan berat hari ini ditambah hujan yang seperti enggan untuk berhenti,aku bertanya pada Ajo Rudi(28thn) apakah kami bisa numpang bermalam di warungnya,ternyata beliau sangat senang kalau kami bermalam di situ,satu ruangan dari kayu dibelakang warung sederhananya terasa seperti hotel bintang lima bagi kami saat ini,kalau mau makan atau ngopi tinggal pesan,sambil ngopi aku menulis laporan ini dan terimakasih buat Bang haji Mohan yang sudah menelpon memberikan kebahagiaan dan semangat buat ku hari ini,juga terimakasih buat bapak bapak HPC yang sudah berikan doa dan komentar yang bisa jadi pengobat lelah kami di perjalanan ini.
Sabtu 6 Februari 16
Berangkat jam 7 diikuti hujan rintik rintik sepanjang jalan,keluar dari kota madia Subulusalam jalan bergelombang dan menerobos belantara bukit barisan?kami istirahat di desa singgersing aceh Singkil menumpang duduk di teras tetangga,kiri kanan jalan mulai kelihatan ladang sawit,lalu tidak berapa jauh kami mendayung bertemu mobil sawit yang terbalik dan lalu lintas jadi macet total hanya seoeda kami yang bisa lewat.
Hujan mulai berhenti kami mampir di sebuah warung makan di desa Jambi baru kecamatan Sultan Daulat pemko Subusalam,baju yang masih basah sudah mulai mengering,kami masing masing pesan makan siang di warung yang ada,selesai makan dan sholat kembali hujan turun lagi,hari yang masih siang kami lanjut lagi mengayuh hingga di desa Jambo dalem aceh selatan,hujan turun makin lebat lalu kami berhenti disebuah warung dan memesan teh panas dan mie rebus.
Hujan masih belum reda sampai jam 16.30,lalu aku bertanya pada bapak yang punya warung apakah diizinkan kami menginap di warungnya,bapak Yusuf yang punya warung mengizinkan kami untuk tidur di pelatarannya.
Ahad 7 februari 16.
Pagi melewati Padang rimba Trumon tengah,dikejauhan terlihat Gunung kapur yang melintang dengan jalan menusuk tajam ke puncak bukit,mentalku agak tertekan melihat tinggi nya tanjakan kemiringan 40derjat dengan dua gelombang sejauh lebih kurang 1km.
Mendekati tanjakan aku kayuh sekencang kencangnya dengan speed 30km/jam makin keatas kecepatan makin turun hingga 4km/jam pada gear yang paling rendah,hembusan nafasku lebih kencang dari dayungan pedal,terasa jantung berdegup berirama dan disatu belokan yang agak datar aku berhenti istirahat dengan keringat yang bercucuran diudara panas aku mengambil foto foto kearah kawan yang sedang berjuang naik ke jalan yang tadi aku lalui,kami melanjutkan pendakian sekitar 300meter lagi hingga sampai di Gunung kapur tersa tenagaku sudah terkuras habis namun aku tidak berhenti karena didepan menunggu turunan yang cukup terjal,aku dan ucup meliuk kencang kebawah dan disatu belokan aku melihat kebawah dikejauhan laut lepas dengan batas pantai Lok Jamin yang  berbuih putih,rasa capekku saat itu terbayar dengan indahnya panorama saat itu.
Aku meliuk kencang melewati beberapa rumah penduduk hingga sampai di desa selkalt dan tidak berapa lama disebelah kiri ada pantai Lok Jamin,disebuah depot pengisian air mineral kami berhenti menunggu opung yosef dan Gozy tapi hampir setengah jam tidak muncul juga akhirnya kami berangkat.
Kami mengayuh dijalan yang mulus dan datar,angin pantai menghembus wajahku yang sudah gosong dibakar matahari selama perjalanan,sepanjang jalan sebelah kiri kami terhampar pantai dengan ombak ombak samudra hindia yang bergulung memutih, sungguh terbayar rasa capek kami selama ini melihat pemandangan alam yang mempesona ini,kami berhenti lagi di sebuah pondok diujung pantai lok Jamin menghadap pulau duo.
Jam 13 sehabis makan siang di sebuah cafee lalu kami melanjutkan perjalanan sampai di kecamatan Kluet Selatan dan numpang istirahat di masjid Al Muqaramah
Anak anak desa yang waktu itu mendekati kami terdengar berbicara dengan bahasa minang tapi logatnya asing bagi telingaku,aku mencoba mencari tahu dan menurut literatur yang aku baca ternyata bahasa tersebut adalah bahasa suku anak jamee atau orang datang.
Suku Aneuk Jamee adalah sebuah suku yang tersebar di sepanjang pesisir barat Nanggroe Aceh Darussalam. Dari segi bahasa, Aneuk Jamee diperkirakan masih merupakan dialek dari bahasa Minangkabau dan menurut cerita, mereka memang berasal dari Ranah Minang. Orang Aceh menyebut mereka sebagai Aneuk Jamee yang berarti tamu atau pendatang. bahasa yang digunakan bukan bahasa padang lagi tapi Bahasa Jamee.. mirip tapi tidak persis sama..tapi kalau di Daerah Kluet selatan, Tapaktuan, Blangpidie dan Susoh hampir semua masyarakat bisa berbahasa jamee dan Aceh…bahkan terkadang kadang berkomunikasi sudah bercampur dalam penggunaan bahasanya dengan bahasa Aceh.
Umumnya berkonsentrasi di kabupaten Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Nagan Raya dan sebagian kecil di sekitar Meulaboh, Aceh Barat. Namun sebagian besar diantaranya berdiam di sepanjang pesisir selatan Aceh, meliputi Aceh Selatan yakni Kecamatan Kluet Selatan hingga ke Aceh Barat Daya.
Konon ceritanya, ketika perang paderi berlangsung, para pejuang paderi mulai terjepit oleh serangan kolonial Belanda. Minangkabau pada saat itu adalah bagian dari kerajaan Aceh mengirim bantuan balatentara. ketika keadaan makin kritis rakyat terpaksa di eksoduskan, pada saat itu mulailah Rakyat Minangkabau bertebaran di pantai Barat Selatan Aceh. Bahasa minang tetap digunakan dengan berasimilasi dengan bahasa Aceh jadilah bahasa “jamee”. tidak banyak perubahan cuma beberapa konsonan dan vokal dan sedikit dialeknya yang berubah.
Versi lain yang saya dapat dari obrolan orang orang tua yang ketemu di masjid tempat kami nginap mengatakan,
Aneuk Jamee di Aceh Selatan menempati di daerah-daerah pesisir yang dekat dengan laut. mungkin jalur perpindahan nenek moyang dulu adalah dari jalur ini.
Senin 8 februari 16
Hari ini adalah libur Imlek,kami mengayuh dijalanan yang masih sepi,kantor dan sekolah libur Imlek.
Keluar dari kota fajar kembali kami dapat tanjakan yang lumayan untuk memeras keringat pagi,jalan beton yang menelusuri pinggang bukit disebelah kanan dan pantai disebelah kiri kami,dari satu ketinggian terlihat kota Tapak tuan di sepanjang teluk,sayangnya aku tidak bisa abadikan keindahan ini karena smart phone ku yang bermasaalah dan dari kemarin,aku memacu sepeda lagi ke kota Tapak tuan untuk cek smartphone yang tidak bisa difungsikan,tanpa benda itu rasanya perjalanan ini jadi hambar.
Di desa Batu hitam jalan sudah datar dan suasana kota mulai terasa,kiri kanan jalan mulai ada toko dan perkantoran,kemudian disebelah kiri sebelum memasuki kota ada sebuah tugu yang menggambarkan naga dan telapak kaki besar konon tugu ini menceritakan terjadinya kota Tapak tuan. Disatu bundaran kami belok kiri ke jalan yang kiri kanannya ruko aku masuk ke toko phonecell dan menanyakan masaalah phonecell ku yang tidak bisa berfungsi,lalu aku dengar mereka berbicara dalam bahasa minang,aku langsung menanyakan,kedengarannya bapak berbahasa minang,kalau boleh tahu,dari mana asal bapak ?,pak Zein yang punya toko mengatakan bahwa dia orang kelahiran aceh,mungkin moyangnya dulu dari minang katanya tapi dia juga ngga tahu sudah generasi keberapa dia berada diaceh,begitu juga waktu kami makan siang di warung nasi,penjualnya berbahasa minang yang mirip logat pariaman sedangkan dia kelahiran pulau simelu dan belum pernah berkunjung ke negri Minang.
Phonecell ku sekarang sudah normal lagi setelah battray di ganti baru.
Penasaran tentang sejarah Tapak tuan kami melakukan kunjungan ke tempat jejak telapak tuan dipinggir laut,kita berjalan sejauh 200meter disisi bukit lalu bertemu pantai karang,disuatu dataran yang agak ceper kita akan melihat cetakan telapak kaki seukuran 1x3meter,ini dipercaya sebagai tapak tuan atau Teuku Tuan. Teuku tuan ini di ceritakan sebagai orang suci yang menyelamatkan penduduk tapak tuan zaman dulu dari amukan dua ekor naga,dengan kesaktiannya teuku tuan berhasil membunuh satu naga dan satu lagi lari ke tengah samudra,dari cerita rakyat tersebut kota Tapak tuan dikenal juga dengan  kota Naga.
Jam 14.00 dari tapak tuan kami melanjutkan perjalanan sampai ke Labuhan Haji dengan jarak 35km dan jalan yang masih ada yang menanjak,lalu di batas kota Labuhan Haji kami berhenti untuk istirahat di sebuah masjid Ahlusunah wal jamaah.
Selasa 9 februari 16
Pak Zakir anak angkat pak Haji Agus adjam sudah ku telpon memberitakan bahwa kami sudah bergerak menuju Blang Pidie,jam 6 pagi jalanan masih gelap dan sepi kami mengayuh pelan sambil mencari warung untuk sarapan pagi,baru di pasar Manggin kami menemui warung satu satunya yang buka,sewaktu melanjutkan perjalanan ke Blang pidie kami diikuti oleh sepasang suami istri dengan memakai  sepeda motor sambil bertanya tanya asal dan tujuan kami bersepeda lalu di suatu mini market bapak ibu tadi menyetop kami dan  menyerah sebotol minuman pada kami berlima.
Pak Zakir yang dari tadi memonitor posisi kami akhirnya menjemput kami dekat pasar B9lang pidie,beliau membekali kami dengan nasi bungkus yang dipersiapkan istrinya untuk kami.
Pak zakir menawarkan kami untuk kerumahnya tapi karena tempatnya cukup jauh kami menolaknya halus dan terakhir beliau berpesan kalau perlu penginapan di Meulanoh nanti bisa memakai rukonya.
Tenggorokanku sejak dua hari ini terasa gatal dan batuk berlendir dan opung yosef juga dapat influensa sejak dua hari terkhir walaupun begitu aku dan opung yosef tidak mengeluhkan masaalah tersebut pada kawan kawan agar semangat team tetap terjaga.
Jalan yang datar dan mulus sangat beda dengan jalan yang kami lalui selama ini terutama dijalan deretan bukit barisan yang melelahkan,jam 11 siang kami sudah bisa menempuh jarak sejauh 52km kemudian sepeda kami arahkan kehalaman masjid Al hidayah di daerah Babahrot disitu ada air kolamnya yang amat jernih,kawan kawan menyelesaikan cucian pakaian kotor dan jam 13.30 kami lanjut mendayung hingga sampai di Darul makmur Kabupaten Nagan raya,hujan lebat menyergapkami lalu kami berteduh disebuah warung kopi Ulee Jembatan namanya,di warung ini kami menunggu hujan reda hingga jam 18 sore lalu kami lanjut mencari masjid untuk nginap malam itu.
Disaat hujan masih turun kami lanjutkan perjalanan mencari masjid untuk tempat bermalam,disatu belokan kami menemukan masjid jamik,waktu menjelang magrib be berapa jamaah perhatikan kedatangan kami yang basah kuyup,pertanyaan standard keluar dari beberapa jamaah.
Selesai sholat isa aku minta izin pada imam untuk menginap di masjid,pertamanya kami diiInkan nginap dalam masjid yang amat bersih tersebut tapi setelah beberapa saat sesudah sholat isya aku didatangi seseorang pengurus masjid mengatakan agar kami pindah ke TPA disebelah masjid, tempatnya agak terbuka dan mungkin sedikit kurang nyaman tapi kami sangat menghormati putusan pengurus tersebut. Malam sedang santai beberapa orang anak muda mendatangi untuk sekadar ngobrol dan mendengarkan cerita perjalanan kami,aku sangat sulit melayaninya karena terlalu capek dan ngantuk.
Rabu 10februari16.
Sehabis subuh kami langsung mendayung menuju Meulaboh,di kecamatan Tripa ada dua pilihan jalan ke Meulaboh yaitu melalui kota Nagan raya dengan jalan baru tapi banyak tanjakan dan kiri kanan ladang sawit atau melalui kecamatan Lamie jalan lama yang melewati desa desa lama serta mengikuti sungai Lamie hingga ke Kuala Trang.
Opung yang duluan didepan kami masuk di jalur kota Nagan raya sedangkan aku dan Gozy lewat jalur Lamie kami melewati jalan desa yang saat itu diramaikan beberapa kendaraan sepeda motor pelajar  dan pegawai negri melewati daerah ini terasa sekali suasana desanya sapaan ramah warganya dengan sekali sekali menelusuri aliran sungai sampai ke muara sungai. Memasuki Kuala trang dipinggir muara yang teduh dan jauh dari desa aku melihat sepasang suami istri sedang memisah misah hasil tangkapan udangnya,kelihatan harmonis sekali dengan kesederhanaan,kecintaannya pada pekerjaannya dan kerjasamanya,aku berhenti ingin beramah tamah dengan mereka, kedatanganku agak mengganggu kesibukan bapak dan ibu tadi tapi hal ini tidak mengurangi keramahannya pada ku,dia bercerita bahwa bagan atau perangkap perangkap udang tadi dipasangnya pada sore hari lalu esok paginya di cek hasilnya. Menurut si bapak daerah kuala trang ini termasuk korban tsunami yang besar yaitu hampir 90% dan si bapak dan ibu waktu itu sedang pergi ke desa lamie jadi bisa selamat tapi anaknya 4 orang jadi korban dan hilang,sekarang dia punya satu anak lahir setelah tsunami.
Aku terus mengayuh ke kota Meulaboh yang dulu pernah disapu habis oleh terjangan tsunami kota yang sempat terisolir beberapa hari setelah tsunami.
Jalan kota yang bersih dan lebar,rumah rumah penduduk yang seragam,mungkin ini hasil bantuan pemerintah atau donatur swasta. Sepeda Ucup dan Abasri diantar ke bengkel untuk pébaikan spoke yang putus setelah itu kawan kawan tadi melanjutkan perjalanan menuju Calang, jam menunjukan pukul 17 lalu kami mulai melirik masjid untuk menginap,didaeah Arongan Lambalek kami diikuti seseorang dari belakang,kesempatan ini aku a6mbil untuk menanyakan masjid terdekaYg sambil menanya nanya,j

10.Tour de km0_Sidikalang

Kamis 4 Februari 16
Perjalanan dari desa Sihasapi lotong menuju kota Tomok sejauh lebih kurang 2km dengan kondisi jalan berbatuan pecah dan berlobang cukup melelahkan,kami kembali melalui tanjakan tele yang extrem dan sampai di pertigaan jalan raya Sidikalang jam 11.00 kami mencari restoran muslim untuk makan siang tapi sia sia,akhirnya opung makan sendiri di restoran non muslim yang ada di simpang tele dan kami melanjutkan perjalanan sambil mencari spot yang bagus untuk istirahat dan memasak.
jalan mulus dan menurun,sepeda melaju dengan kecepatan 45km/jam,tiupan angin terasa makin menusuk ke pori pori,aku berhenti memasang jacket.setelah dua jam perjalanan kami sampai di desa Parbuluan kabupaten Dairi kami berhenti di pinggir jalan yang agak lindung dari panas matahari untuk memasak dan makan siang,lalu kami lanjut perjalanan hingga menemukan masjid Al Jihad kira kira satu km dari tempat kami makan tadi.
Aku dan ucub berhenti untuk sholat dzuhur dan ashar di masjid pertama yang kami temukan mulai dari samosir tadi pagi,masjid ukuran 10x10m ini cukup bagus untuk ukuran desa sekecil itu,ustad Simarmata sebagai imamnya bercerita suka dukanya membangun masjid ditengah mayoritas warga non muslim di kabupaten Dairi tersebut,tapi berkat keistiqomahannya beliau berhasil melampaui kendala kendala baik materil atau non materil yang dihadapinya. Beliau sangat bersyukur dengan hasil perjuangannya itu maka masjid tersebut dinamakan masjid Al Jihad.
Terik panas siang sangat menyengat tapi hembusan angin dikelajuan sepeda kami dijalan yang mulus bisa sedikit mengurangi panas di kulit.
Pas waktu azan ashar berkumandang kami sampai di pertigaan jalan,kekanan adalah ke Medan dan kami berbelok ke kiri ke Banda Aceh via Subulusalam,di pertigaan opung yosef dan lainnya bergabung lagi hingga sampai batas kota Sidikalang kami mencari tempat menginap di sebuah masjid Amaliah di jalan Air bersih. Kami diizinkan menginap di masjid tersebut yang jamaahnya terdiri dari jamaah tablig yang amat ramah terhadap musyafir seperti kami.

9.Tour de km0_negri indah kepingan sorga

Selasa 2 Februari 16
Seharian kemarin kami istirahat dirumah Keluarga anak  Opung yosef Di Dolok sanggul,aktivitas kami mencuci pakaian kotor dan check semua sepeda,aku sendiri pergi check mata yang terasa meradang bekas operasi lemak beberapa bulan yang lalu,obatku dari rumah yang dikirim istriku dari pekanbaru aku perlihatkan ke dokter mata dan inu dinyatakan bisa dilanjutkan lagi.
Satu hari bersama keluarga dr.Pantas yang baik hati ini sangat memberatkan hati kami meninggalkannya,keluarga ini melepas keberangkatan kami dengan bekal makanan yang cukup banyak.
Kami melanjutkan perjalanan dengan tujuan kota Pangunguran di Pulau samosir,kami mendayung melewati pasar Dolok sambung dalam cuaca cerah dan dingin,belum banyak kendaraan,dekat pasar kami belok kanan kearah Sidikalang,jalan lumayan mulus dan datar sampai di desa Hutajulu,dipinggir jalan kita disuguhi sawah diselingi rumah penduduk,memasuki desa Hutagalung jalan agak menanjak kami istirahat disebuah pondok penduduk dipinggir ladang.
Menjelang simpang Tele aku,ucup dan Gozy laju kencang hngga lupa belok ke simpang Tele,kami mundur lagi kembali kebelokan masuk Tele disitu sudah menunggu Opung yosef dan Abasri.
Sepeda kami meluncur laju dari puncak tele diketinggian 2000mdpl dan di kemiringan jalan sekitar 30derjat,jari jari sempat terasa kaku menekan rem di cuaca yang terasa dingin menusuk itu,untuk mengurangi rasa dingin alu pakai jacket.
Kami berhenti istirahat di menara tele di kecamatan Harian,aku melihat dari atas puncak menara Tele kearah danau Toba,terlihat hamparan pulau Samosir yang dikelilingi danau kemudian dipagari oleh hamparan jurang terjal yang menghijau,dipinggirannya terlihat jalan melingkar lingkar sampai ke dasar bukit,pantaslah samosir yang dikelilingi danau toba disebut negri indah kepingan sorga.
Danau Toba terbentuk akibat letusan Gunung Toba pada 73 ribu tahun lalu. Letusan ini tercatat sebagai letusan gunung api terbesar yang mempengaruhi iklim di seluruh dunia. Sebagai danau hasil volcano tektonik terbesar di dunia, danau ini menjadi salah satu aset yang penting bagi Indonesia. Keindahan alam Danau Toba telah tersebar ke seluruh penjuru dunia. Perairan danau yang biru, penduduknya yang sangat ramah,sapaan ramah "Horas" sering kami dengar dari penduduk, budaya batak yang mempesona,hal ini lah yang menarik.
Sepeda kami terus blusukan melipir dipinggang tebing hingga kami sampai didesa Limbong dan tak ada lagi dataran yang lebih rendah dari itu,ada air tujuh rasa Sipitudai yang disakralkan penduduk,beberapa ruas jalan masih belum beraspal dan ditaburi batu batu sebesar tinju kami harus turun dan menuntun sepeda yang amat menguras tenaga.
Sampai di desa Sagala kita akan menyaksikan monumen raja Batak didepannya ada sebuah batu ceper seluar 9m2 dibagian atas seperti ada penutup dengan garis pemisah,batu ini dipercayai menyimpan harta emas,masarakat berusaha membuka tutup batu ini tapi tidak berhasil.
Kearah timur monumen terlihat pusuk buhit atau puncak tertinggi yang dipercayai sebagai tempat turunnya Raja Batak dari kayangan.
Kami terus melanjutkan perjalanan melingkar menelusuri danau hingga sampai di desa aek rangat,kabupaten samosir,kecamatan Pangunguran,karena sudah magrib kami memutuskan untuk menginap di penginapan Air hangat yang mempunyai fasilitas mandi air panas alam dengan rate Rp150ribu/malam,kami sewa dua untuk berlima,lumayan kamar yang cukup irit ukuran kantong musyafir.
Kami pergi mandi air hangat yang terletak persis dibelakang penginapan dan dipagar menyatu dengan penginapan disitu ada ruangan mandi untuk wanita dan laki yang terpisah
yang mempunyai 1kolam air panas dan 1 kolam air dingin seluas 9m2......kami masuk ke kolam bagian mandi laki laki,begitu masuk kami kaget menyaksikan beberapa orang mandi berbugil ria,sepertinya warga lokal,kayaknya sudah budaya disini. aku mandi pakai celana gowes,tapi tidak langsung nyebur karena aku merasa masih terlalu panas airnya sedangkan badan masih terlalu dingin.
Rabu 3 Februari 16
Pagi ini aku tidak merasakan lagi dinginnya Toba seperti kunjunganku belasan tahun yang lalu,selesai sarapan pagi kami langsung melaju ke arah Pangunguran ibukota kabupaten Samosir.kami menelusuri danau toba yang berada sebelah dan sebelah kanan tebing sekitar 30menit kami menemui sebuah jembatan,kelihatannya jembatan ini biasa biasa saja tapi setelah diberi tahu opung yosef bahwa jembatan tersebut adalah jembatan penghubung antara pulau Sumatra dengan Pulau Samosir,kami mengambil beberapa foto disitu.
Melewati jembatan kita mulai merasa memasuki kota Pangunguran,sewaktu belajar ilmu bumi di SD dulu aku sudah mengenal Kota Pangunguran dan sekarang tumbuh sebagai ibu kota kabupaten Samosir,kotanya tidak begitu ramai beberapa mobil melewati kami dan kendaraan bermotor lebih mendominasi dijalanan, terdapat sebuah gereja Hkbp yang cukup besar.
Horas...Merdeka.....begitulah sapaan setiap kali kami melintasi penduduk yang sedang berkumpul di warung warung atau lapo lapo dipinggir jalan dan saat ini aku bersukur bisa menyaksikan kota tersebut secara langsung.
Keluar kota pangunguran sering kita temui kuburan kuburan besar untuk satu keluarga yang berbentuk seperti monumen,ada yang besar dan ada juga yang kecil,pada kuburan yang besar terdapat ruangan untuk beberapa jenazah,makin besar kuburan tersebut menunjukan status sosial yang mapan dari keluarga yang memilikinya,banyak kuburan tersebut yang terletak di ketinggian tebing.
Keluar dari kota kami singgah di pantai Batu hoda Simanindo.
Udaranya dan pemandangan kearah danau yang sangat indah.kemudian lanjut menelusuri danau sampai di kampung Lumban Huta gaol kita mengunjungi meseum batak,kemudian mengunjungi desa Siallagan yang berada di Desa Ambarita, Kecamatan Simanindo.
Disini kita menyaksikan komonitas marga Siallagan disuatu area yang dipagari susunan batu batu kali yang berbentuk kubus.
Pembangunan huta Siallagan, konon dilakukan secara gotong royong atas prakarsa raja huta yang pertama yakni Raja Laga Siallagan . Pembangunan huta yang menggunakan batu-batu besar disusun bertingkat menjadi sebuah tembok besar yang kelak menjadi benteng penahan musuh dan binatang buas kemudian diatasnya ditanami bambu (bagi orang Batak, bambu memiliki multi guna sebagaimana suku bangsa Indonesia yang lain). Dahulu, untuk membangun rumah adat Batak, juga dilakukan dengan cara gotong royong mengangkut kayu dari hutan atau ladang keluarga, kemudian mendirikannya sesuai bentuk dan aturan pendirian rumah adat Batak. Di dalam area berjejer 8 rumah adat batak yang dihuni oleh keluarga Siallagan.
Di pekarangan luar aku menyaksikan
Kelompok Batu kursi pertama, dibawah pohon kayu Habonaran, ditempatkan di tengah huta Siallagan yang dipergunakan sebagai tempat rapat-pertemuan Raja dan pengetua adat untuk membicarakan berbagai peristiwa kehidupan warga di huta Siallagan dan sekitarnya, juga menjadi tempat persidangan atau tempat mengadili sebuah perkara kejahatan.
Menurut penuturan para orangtua, bahwa batu kursi pertama ini terdiri dari Kursi Raja dan permaisuri, Kursi Para Tetua Adat, Kursi Raja dari Huta/kampung Tetangga dan Para undangan, juga Datu/Pemilik Ilmu Kebathinan. Ditempat inilah diputuskan dan ditetapkan peraturan “pemerintahan, kemasyarakatan” dan hukum yang tegas bagi yang melanggarnya. Artinya Raja Huta Siallagan tidaklah melakukan sesuatu dengan dasar “kekuasaan” semata, tetapi dilakukan secara musyawarah, mendengarkan pendapat dan usul serta pertimbangan dari para tetua adat yang diundang hadir untuk kemudian menetapkan keputusan secara jujur, adil dan bijaksana.
Keluar dari huta Siallagan kami lanjut ke Tomok disini banyak kita temukan penginapan dan homestay,suasana kota wisata kental sekali disini dengan banyaknya turis asing. Kami makan siang direstoran padang dan agak kesulitan mencari tempat sholat akhirnya pemilik restoran muslim tersebut mengantar kami ketempat sholat dirumahnya yang tidak jauh dari restorannya.
Target kami adalah menelusuri  samosir dan berakhir di desa Sihasapi dipinggir danau toba dimana leluhurnya opung dilahirkan.
Rumah opung yang menghadap ke Danau toba diseberang sana terlihat kota parapat dengan kelap kelip lampunya,malam ini kami duduk dipinggir danau sambil memanggang ikan,api unggun pembakar ikan juga berfungsi sebagai penghangat tubuh dari dinginnya malam. Malam ini aku memandang jauh ketengah danau yang dihiasi kelap kelip lampu tambak,dibalik keindahan Danau Toba ternyata ada beberapa masalah serius yang terjadi saat ini. Danau Toba, kini dipenuhi dengan tambak-tambak yang setiap hari pakan yang dilempar ke danau menyumbang sedimentasi. Hari demi hari aku yakin pendangkalan dan pencemaran air terjadi. Tidak hanya ini, perkembangan tumbuhan enceng gondok juga menimbulkan masalah bagi kebersihan Danau Toba sendiri. Sebab gulma yang menyebar dengan cepat hingga tepi pantai berpotensi mencemari danau terluas di Asia Tenggara ini. Bisa dibayangkan beberapa tahun kedepan Danau Toba akan kehilangan daya tariknya akibat pencemaran tersebut,akankah anak cucu kita masih bisa menikmati keindahan danau Toba seperti kita saat ini...?

8.Tour de km0_Kota tua Barus

Ahad 31 Januari 16
Barus kota yang terlupakan.
Deburan ombak pagi pantai Binasi seolah memberi energy untuk kami pada hari yang cerah ini. Kami melanjutkan perjalanan kearah Dolok sanggul yang berjarak +/- 100km dari pantai Binasi,jalan yang datar dan mulus sangat enak untuk memacu sepeda lebih laju. Opung yosef yang duluan didepan sudah tidak kelihatan lagi,dibelakangku beriringan Abasri,ucup dan gozy,dipertigaan kalau kita belok kanan berarti ke dolok sanggul sedangkan ke kiri adalah kota Barus lama. Aku tidak menyia nyiakan untuk melihat langsung kota bersejarah itu,abasri,Ucup dan Gozy ikut membelokan sepeda ke arah kota tersebut. Setengah jam perjalanan kami sampai di pasar Barus disitu ada bekas puing puing benteng pertahanan Belanda yang bersebelahan dengan ladang penduduk.kami berjalan kearah barat lagi menuju pelabuhan kapal yang sudah dipugar tapi terlihat kosong dan sepi hanya ada anak anak yang sedang bermain. Sungguh kontras dengan kejayaan masa lalunya.
Dari literatur yang aku baca  sesungguhnya Barus merupakan sebuah kota yang banyak menyimpan rahasia. Sejak awal abad pertama Masehi, kawasan Barus Raya, yang berada di Pantai Barat Sumatera (Sumatera Utara), diyakini menempati posisi penting dalam sejarah perdagangan internasional.
Hasil penelitian dengan pendekatan arkeologi-sejarah (historical archaelogy) di situs Lobu Tua menunjukkan, banyak fakta temuan akhirnya menuntun para ahli pada kesimpulan bahwa kawasan ini telah berperan sebagai pusat bandar niaga internasional selama berabad-abad. Berita tentang eksistensi Barus sebagai bandar niaga, ditandai oleh sebuah peta kuno abad ke-2 yang dibuat oleh Claudius Ptolemeus, seorang gubernur di Kerajaan Yunani yang berpusat di Alexandria, Mesir.
Di sana disebutkan bahwa di pesisir Barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barossai yang menghasilkan parfum (wewangian), yang dikenal sebagai produsen kapur barus. Komoditas ini sangat disukai dan menjadi komoditas penting untuk kawasan Asia dan Eropa.
Kami kembali melanjutkan perjalanan kearah Dolok Sanggul,di desa Aek Daka persis di suatu tanjakan yang tinggi aku berhenti istirahat disitu aku melihat banyak penziarah ke kuburan Mahligai,keingin tahuanku makin besar untuk pergi berkunjung ketempat ziarah tersebut,sepeda aku titip di warung pinggir jalan lalu aku berjalan kaki kesuatu bukit lebih kurang setinggi 300meter,disebuah dataran terdapat satu pendopo diaitu berkumpul be erapa penziarah yang sedang duduk istirahat dana ada yang sedang makan dan ngobrol,aku didatangi pak Djamaluddin sepertinya penduduk lokal yang bersemangat memberikan informasi seperti guide padaku.
Sepintas tidak ada yang terlalu istimewa disitu hanya ada batu batu nisan dan kalau di perhatikan tulisannya disitu memakai huruf arab.
Perhitungan masuknya Islam di Barus itu didukung dengan temuan 44 batu nisan penyebar Islam di sekitar Barus bertuliskan aksara Arab dan Persia.  Misalnya batu nisan Syekh Mahmud di Papan Tinggi. Makam dengan ketinggian 200 meter di atas permukaan laut itu,hingga kini ada sebagian tulisannya tidak bisa diterjemahkan. Hal itu disebabkan tulisannya merupakan aksara Persia kuno yang bercampur dengan aksara Arab. Seorang arkeolog dan ahli kaligrafi kuno Arab dari Prancis Prof. Dr. Ludwig Kuvi mengakui Syekh Mahmud berasal dari Hadramaut, Yaman, merupakan ulama besar. (Wanti, 2007).
Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad 7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era itu (Kompas, 01/04-2005). Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 Masehi telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak Nabi Muhammad SAW memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah perkampungan Islam. Secara ringka dapat dipaparkan sebagai berikut: Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara diam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab.
Aku melanjutkan mendayung sepeda dengan perasaan kagum pada masa lalu dan beribu pertanyaan kenapa Barus saat ini seperti terlupakan,tapi begitulah cara Allah menata kehidupan ini,sesungguhnya kekuasaan itu akan dipergilirkan.
Jalan dari kota Barus hingga 30km menjelang kota Pakat tidak terlalu nanjak tapi sampai di pendakian si gorong gorong hingga km 7 sungguh menguras tenaga,kecepatan paling tinggi 6km/jam seperti kura kura mendaki sampai dipuncak aku berhenti disebuah warung mengatur nafas dan beli tambahan air aqua yang sudah tigggal sedikit.
Dari puncak sigura gura aku meluncur mulus,angin bertiup kencang mendinginkan tubuh hingga di pasar Pakat,aku berhenti diperempatan pasar menanyakan arah ke Dolok sanggul pada bapak bapak yang ada dekatku,beberapa orang mendekatiku ingin tahu dan bertanya asal dan mau kemana,mengetahui kami dari oekanbaru mau ke Aceh mereka kelihatan kaget,lalu minta foto foto,dari mereka aku ketahui ke dolok sanggul 48km lagi dan kondisi jalan datar datar saja  tidak separah tanjakan ke pakat,aku bersemangat mendengar ini karena perhitunganku dalam 3jam atau sekitar jam 18 sore kami sudah sampai di Dolok sanggul.
Aku sudah tidak melihat opung yosef didepan lagi dan juga Abasri,gozy dan Ucup masih belum muncul juga dibelakangku.
Di km 40 ke dolok sanggul mulai nanjak terus menerus,waktu sudah menunjukan jam 18 sudah mulai gelap sedangkan ke dolok sanggul masih 35km lagi,dalam kondisi capek aku agak ngomel dengan informasi yang salah dari orang di pasar pakat tadi,di satu tanjakan yang menanjak aku melihat opung yosef yang sedang terseok seok mendaki,sekarang kami berdua beriringan,tanjakan seakan akan tak habis habisnya hari semakin gelap lampu kami hidupkan,udara semakin dingin,rasa lapar,kantuk menjadi satu,aku coba menghubungi Abasri dengan dua orang lainnya dibelakang ternyata mereka masih 5km di belakang kami.
Aku beri tahu opung kalau ada warung kita makan dan istirahat diwarung itu saja malam ini,tapi opung mengasih tahu dari pengalamannya tidak ada warung atau rumah orang sampai km 10 nanti.
Kendaraan sudah jarang melewati kami Aku dan opung turun dari sepeda dan menuntun pelan di satu belokan nanjak terlihat diatas jalan ada cahaya seperti warung dan suara orang.
Makin dekat jelas terlihat warung disitu ada tertulis km31 dolok sanggul,aku dan opung masuk kewarung,beberapa orang menanya kami dengan bahasa batak,aku sudah tak tahan lapar lalu pesan ke opung untuk orderkan mie rebus yang halal alias tidak campur babi.
Aku perhatikan ada pengunjung disitu dengan pesanan makanan yang agak ganjil seperti goreng dada ayam yang dipotong melingkar,lalu aku tanya pada yang punya warung goreng apa itu,ternyata itu adalah goreng ular ..uuugh kemudian minumannya Tuak yang kelihatan seperti air beras.
Mie rebus pakai telor terasa agak sendat dikerongkonanku melihat goreng ular dan tuak didepan meja,aku paksakan menelan mie rebus itu agar perutku kenyang dan sekali sekali didorong dengan teh manis panas agar lancar.
Badanku sudah mulai hangat lagi dan opung yosef dapat kontek dan memberi tahu anaknya yang ada di dolok sanggul agar mengantar kami makanan ke km 31 tempat kami mangkal. Kawan yang tiga orang dibelakang masih belum muncul lalu kami kirim sms bahwa kami di km31 menunggunya,setengah jam kemudian abasri,ucup dan Gozy muncul dengan lesu,Aku lihat physic dan mental kawan sudah tidak siap untuk meneruskan  perjalanan malam ini,jarak tempuh yang 70km hari ini dengan tanjakan lintasan bukit barisan seakan akan tidak habis habisnya,hari ini betul betul menguras tenaga,aku mengambil putusan untuk loading Ke Dolok sanggul.
Pemilik warung tawarkan kami menginap diwarungnya saja atau dia akan carikan pick up untuk evakuasi kami ke rumah anak opung di dolok sambung,kawan kawan memilih untuk nail puckup saja dan disepakati ongkosnya rp80ribu per orang. Sepeda kami loading dipickup dan kami duduk berdua opung dicabin depan dan 3 orang di bak belakang pickup,dalam perjalanan dengan pickup itu kami berpapasan di jalan dengan mobil avanza anak opung dan akhirnya sama sama ke rumahnya di komplek RSUD,dalam perjalanan dengan mobil hujan turun aku perhatikan jalan yang makin lama nanjak terus hingga ke tinggian 2000mdpl,aku tidak bisa bayangkan tetap mendayung ditanjakan dimalam sedingin itu dihutan tanpa penduduk.
Jam 22.30 malam kami sampai dirumah dolok sanggul rasanya kami terbebas dan masuk peradaban lagi.

7.Tour de km0_Kota Barus

Sabtu 30 januari 16.
Dari kejauhan terlihat kelap kelip lampu kota sibolga,pagi subuh kapal ferry km. Belanak merapat di dermaga Sibolga kami turun dan kembali menginjakan kaki di Sibolga. Sepeda diarahkan ke pasar tradisional untuk membeli logistik.
Perjalanan menuju Barus yang berjarak 60km umumnya menyelusuri pinggiran pantai dengan jalan yang datar tapi kurang terawat aspal banyak yang berlubang,pannierku sempat bergeser sewaktu kepergok jalan yang keriting dan bergelombang.
Kami jalan lebih santai dan banyak berhenti untuk ber selfi ria.Daerah kolang sudah mulai banyak masyarakat christiani dengan gereja dibeberapa tempat.
Sebelum Barus kami belok ke Sorkam kanan kiri kanan jalan sawah dengan padi yang menguning dan petani yang sedang panen,udara yang menyengat sepanjang jalan membuat aku ingin sekali berhenti di sebuah pondok pinggir sawah untuk istirahat dan makan siang dengan menu khas goweser...asal kenyang,namun suasana yang nyaman menjadikan makanan jadi terasa istimewa.Beberapa penduduk yang melintas ingin tahu dan berhenti untuk menyapa,pak Pasaribu warga lokal yang bisa berbahasa minang mengatakan bahwa didaerah ini bahasa minang juga dipakai tapi dengan logat yang khas dan beliau bercerita sepanjang pantai daerah sorkam sampai kota Barus umumnya muslim,didaerah ini aku merasa bagai didaerah sumatra barat,wanita nya berjilbab dan laki lakinya berpeci muslim. Banyak ditemui Masjid dan surau didaerah ini,jam 2
TIDAK BANYAK ORANG orang mengetahui bahwa sesungguhnya Barus merupakan sebuah kota yang banyak menyimpan rahasia. Sejak awal abad pertama Masehi, kawasan Barus Raya, yang berada di Pantai Barat Sumatera (Sumatera Utara), diyakini menempati posisi penting dalam sejarah perdagangan internasional.
Hasil penelitian dengan pendekatan arkeologi-sejarah (historical archaelogy) di situs Lobu Tua menunjukkan, banyak fakta temuan akhirnya menuntun para ahli pada kesimpulan bahwa kawasan ini telah berperan sebagai pusat bandar niaga internasional selama berabad-abad. Berita tentang eksistensi Barus sebagai bandar niaga, ditandai oleh sebuah peta kuno abad ke-2 yang dibuat oleh Claudius Ptolemeus, seorang gubernur di Kerajaan Yunani yang berpusat di Alexandria, Mesir.
Di sana disebutkan bahwa di pesisir Barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barossai yang menghasilkan parfum (wewangian), yang dikenal sebagai produsen kapur barus. Komoditas ini sangat disukai dan menjadi komoditas penting untuk kawasan Asia dan Eropa.
Perhitungan masuknya Islam di Barus itu didukung pula dengan temuan 44 batu nisan penyebar Islam di sekitar Barus bertuliskan aksara Arab dan Persia.  Misalnya batu nisan Syekh Mahmud di Papan Tinggi. Makam dengan ketinggian 200 meter di atas permukaan laut itu, menurut Ustadz Djamaluddin Batubara, hingga kini ada sebagian tulisannya tidak bisa diterjemahkan. Hal itu disebabkan tulisannya merupakan aksara Persia kuno yang bercampur dengan aksara Arab. Seorang arkeolog dan ahli kaligrafi kuno Arab dari Prancis Prof. Dr. Ludwig Kuvi mengakui Syekh Mahmud berasal dari Hadramaut, Yaman, merupakan ulama besar. (Wanti, 2007).
Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad 7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era itu (Kompas, 01/04-2005). Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 Masehi telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak Nabi Muhammad SAW memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah perkampungan Islam. Secara ringka dapat dipaparkan sebagai berikut: Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara diam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab.

6.Tour de km 0_Jelajah Nias

25 januari 16, menuju Nias
Dari kantor PM di Sobolga kami diantar ke dermaga ferry oleh pak Sunarto seorang polisi,harga tiket yang seharusnya rp40ribu ternyata di gratiskan untuk kami berlima,
Setelah semua kendaraan masuk,kami  yang bersepeda dipersilahkan masuk kapal dengan menuntun sepeda,rasanya semua mata yang ada disitu tertuju pada kami karena ada sepeda dengan bendera lengkap dengan pannier kiri kanan..
Pelayaran ferry km Menumbing Raya dari Sibolga dimulai jam 8 malam,sepeda kami tinggal di palka kapal dan kami naik ke atas dek tingkat tiga,aku mendengar suling tanda keberangkatan kapal,pelan kapal bergerak ke lautan lepas hingga kota sibolga  yang bercaha lampu makin lama makin hilang.
Saya merasa ini bukan di atas kapal, justru mirip barak pengungsian. Pengap, panas dan ribut oleh suara orang-orang dan tangisan bayi. Bahkan ada yang duduk dan tidur di selasar kapal. Dan ketika saya bosan dengan suasana kabin penumpang saya beranjak pergi ke naik ke lantai 3 tepatnya di buritan kapal. Disini justru lebih parah, penumpang banyak yang tidur di lantai beralaskan koran. Ditambah dengan hilir mudiknya para penjual asongan yang menjual rokok, nasi bungkus dan makanan ringan.
Penumpang umumnya sudah duduk di kursi masing masing atau tempat tidur yang disebut kamar dan ada juga yang masih berjalan mondar mandir termasuk kami yang tidak punya karcis duduk atau kamar. Ruang yang bisa jadi tempat tidur sudah penuh oleh penumpang,aku mencari ruang yang kira kira bisa untuk tidur tapi sepertinya sudah terisi semua,di deck aku ngobrol dengan seseorang disitu dapat informasi bahwa ruang mushala sering juga diisi penumpang,aku coba cek ke Mushala sambil membawa sleèping bag,terasa nyaman sekali ruangan ini dengan ac nya dengan rasa khawatir ditegur aku mencoba merebahkan tubuh yang letih ini terasa nyaman sekali dan seterusnya aku tertidur hingga jam 4 pagi,laju kapal mulai pelan dan jam 5 pagi penumpang mulai turun dan terjadi insiden kecil sewaktu membuka ram door atau pintu keluar penumpang dihantam gelombang sehingga ada penumpang yang jatuh dan cidera.
landing di gunung Sitoli
26 januari 16.Mendarat di gunung Sitoli Nias
Dalam gelapnya pagi kami berlima berjalan kaki menuntun sepeda,toko toko masih belum buka,seorang laki laki yang tadi kami kenal di kapal ikut dengan kami berjalan kaki sambil menunjukan tempat sarapan pagi yang halal dan menunjukan Kantor polres tempat kami melaporkan diri. Pak Hidayat wakapolres memberi petunjuk untuk tetap waspada diperjalanan dan memberi tahu lokasi yang rawan kriminal. Setiap orang yang kami beritahu bahwa tujuan kami hari itu akan ke Teluk dalam sejauh 110km selalu menasehati untuk berhati hati dan kalau kemalaman agar menumpang bermalam di kantor polisi saja supaya lebih aman,karena sudah tiga orang menasehati hal sama sedikit banyaknya membuat kami bertanya tanya ada apa sebetulnya sepertinya ada sesuatu hal yang disembunyikan. Bagaimanapun  kami tetap akan waspada dan hati hati sekali.
Ya'ahowe...!! Merdeka...!! Begitulah salam yang kami terima setiap melewati penduduk,terasa keramahan penduduk didaerah yang baru kami kenal ini.kami menelusuri Jalan datar menjelang persimpangan ke Air port Binaka lalu tanjakan yang cukup tinggi di daerah sebelum idanogawo,didesa ini kami istirahat makan siang.
Karena waktu sudah jam14 kami memutuskan untuk bermalam desa Bawolato km 55 saja,tapi setelah di check air untuk mck ternyata airnya sudah kosong,kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan kira kira 35km lagi hingga desa Lahusa.
Melalui tanjakan dan penurunan yang mulus kami meluncur kencang hingga jam 17 sampai di desa Lahusa dan kami langsung ke polsek untuk mencari tempat bermalam. Kami dapat layanan sangat simpatik dari bapak bapak petugas di polsek,pak A hasibuan menyediakan aula untuk kami istirahat malam itu.
27 januari 16, menuju Teluk dalam dan melihat Lompat Batu, Desa Bawu Mataluo
Sekitar pukul 7 pagi kami mulai bergerak meninggalkan Desa Lahusa dengan terlebih dahulu berpamitan kepada Pak akp Dogo, Sepeda dipacu menuju arah teluk dalam. Tujuan kami adalah Pantai Sorake dan Pantai Lagundri. Jalanan aspal yang kadang kadang  jelek berlobang berupa bebatuan masih sering memergoki kami.
dijalan kami sempat diguyur hujan lebat,aku dan ucup numpang berteduh di teras rumah penduduk,didepan rumah ada pajangan pisang yang menerbitkan selera,kami beli pisang tersebut dan harganya diluar dugaanku yaitu seribu rupiah untuk satu sisir pisang yang besar besar itu.
Kami juga melewati pasar rakyat, ada pemandangan tak biasa di mata saya. Ada beberapa buah lapak pedagang menjual daging babi, tanpak jelas itu daging babi karena kepala babi turut dipajang. Pemandangan yang tak lazim di jumpai dikotaku.
Habis itu semua kami mulai melalui jalanan yang lumayan lebar namun masih berbatu. Setelah sekian lama kami baru menjumpai jalanan aspal mulus. Merdeka !!! Akhirnya sepeda kami terbebas dari jalanan hancur dan sekarang dapat memacu sepeda phingga kecepatan 30 km/jam.
Di sepanjang jalan menuju teluk dalam disisi kiri terhampar lautan biru luas membentang. Sungguh indah ini semua. Di suatu tempat kami berhenti di tepi jalan. Tempat itu bernama Genasi. Tempat dimana kita dapat memandang luasnya laut biru sejauh mata memandang dari ketinggian. Sehingga sayang melewatkan spot indah ini tanpa di abadikan dalam foto.
Genasi,tempat ini bisa dilewati dalam perjalanan dari gunung sitoli ke teluk dalam atau sebaliknya..kalo cuaca lagi bagus, warna lautnya juga makin bagus
Kemudian kami lajut lagi menuju kota Teluk Dalam. Sepajang jalan kami dihidangkan pemandangan laut nan indah disisi kiri. Wow…tak terasa lelah mengendarai sepeda bila ditemani pemandangan indah seperti ini.
Beberapa lama kemudian kami sampai juga di Kota Teluk Dalam, kami melaporkan diri ke polsek di kota ini.
Sampai jam 12 siang di kota teluk dalam kami hanya berkeliling sebentar lalu lanjut menuju lompat batu nias yang berjarak 30 km dengan medan yang masih menanjak dan menurun.
Desa Bawu Mataluo adalah lokasi dimana Lompat Batu Nias yang terkenal ke seantero jagad.
Sesampainya disana kami di tawari atraksi lompat batu dengan imbalan biaya 150 ribu untuk 3 kali lompatan. Namun karena kami adalah Bikepacker “pas pasan” maka kami tidak menerima tawaran tersebut.tapi opung meminjam kostum perang untul brfoto dengan sewa rp20ribu,kami hanya berjalan-jalan di temani oleh satu orang pemandu wisata yang menceritakan sejarah.

Bawu Mataluo adalah sebuah Desa Adat berupa kompleks perumahan tradisional dengan rumah penduduk yang arsitekturnya sama. Ada satu rumah yang beda, terlihat besar itu adalah rumah raja. Dan yang menempati rumah tersebut adalah generasi kelima dari raja.Di depan rumah raja terdapat pelataran aku jadi ingat film the Vicking yang mirip susunan bangunannya. Dari beberapa sumber mengatakan sewaktu rumah ini selesai dibangun lalu tukangnya di bunuh supaya tidak ada lagi tukang yang bisa membangun rumah yang menyamai rumah raja ini.
Di desa ini kita akan di buat sedikit tak nyaman oleh anak- anak yang berjualan souvenir yang berebut menawarkan barang jualannya mengikuti kemanapun kita pergi. Desa Bawu Mataluo yang artinya Matahari Terbit terletak di atas sebuah bukit. Dari sini Pantai Sorake dan Lagundri terlihat jelas berupa teluk dengan garis pantai melengkung membentuk huruf U.
Hal pertama yang saya cari sesampainya di desa ini adalah Lompat Batu, yang ternyata terletak di depan rumah raja. Kesempatan untuk mengabdikan dalam bentuk foto tak boleh di lewatkan. Karena ini adalah bukti bahwa saya sudah sampai ke Pulau Nias dan melihat langsung tugu lompat batu.
Inilah Lompat batu yang terkenal ke penjuru dunia itu.
Pada masa lampau, pemuda Nias akan mencoba untuk melompati batu setinggi lebih dari 2 meter, dan jika mereka berhasil mereka akaan menjadi lelaki dewasa dan dapat bergabung sebagai prajurit untuk berperang dan menikah. Sejak usia 10 tahun, anak lelaki di Pulau Nias akan bersiap untuk melakukan giliran "fahombo" mereka. Sebagai ritual, fahombo dianggap sangat serius dalam adat Nias. Anak lelaki akan melompati batu tersebut untuk mendapat status kedewasaan mereka, dengan mengenakan busana pejuang Nias, menandakan bahwa mereka telah siap bertempur dan memikul tanggung jawab laki-laki dewasa.
Batu yang harus dilompati dalam fahombo berbentuk seperti sebuah monumen piramida dengan permukaan atas datar. Tingginya tidak kurang dari 2 meter, dengan lebar 90 cm, dan panjang 60 cm. Pelompat tidak hanya harus melompati tumpukan batu tersebut, tapi ia juga harus memiliki teknik untuk mendarat, karena jika dia mendarat dengan posisi yang salah, dapat menyebabkan cedera otot atau patah tulang. Pada masa lampau, di atas papan batu bahkan ditutupi dengan paku dan bambu runcing, yang menunjukkan betapa seriusnya ritual ini di mata Suku Nias. Secara taktis dalam peperangan, tradisi fahombo ini juga berarti melatih prajurit muda untuk tangkas dan gesit dalam melompati dinding pertahanan musuh mereka, dengan obor di satu tangan dan pedang di malam hari.(sumber wikipedia)

Pemandu kecilku Daniel kemudian mengajak kami berkeliling kompleks desa adat, kemudian ke sebuah rumah yang pemiliknya adalah pengrajin souvenir. Dan lagi-lagi, karena keterbatasan budget alias bikepacker pas pasan kami hanya membeli satu souvenir mainan kunci. Padahal dalam hati ini sangat ingin membeli Patung berbentuk Lompat Batu Nias untuk di pajang di kamarku.
Souvenir, kerajinan tangan warga Desa Bawu Mataluo
Sekitar 1 jam kami berkeliling, akhirnya kami menyudahi tour singkat ini untuk melanjutkan kembali perjalanan. Pemandu yang membawa kami berkeliling  kami beri imbalan suka rela sebesar 20 ribu.
Sekitar jam 15 sore kami kembali ke taluk dalam untuk membeli makanan guna persiapan camping hari itu di pantai Lagundri.
pantai Lagundri

Beberapa kali berhenti bertanya arah ke Pantai Sorake kepada orang. Setelah petunjuk jalan kami rasa jelas sepeda langsung kami genjot menuju Pantai Sorake,kami melewati 3 tanjakan yang cukup tinggi  dan 1,5 jam pejalanan dari kota Teluk Dalam kami tiba di Sorake.
Berjalan menyusuri pantai Lagundri
Indahnya lekukan pantai lagundri yang berada di teluk
Pantai Sorake menjadi tempat yang pertama dikunjungi pada hari ini. Namun apa lacur? Bayangan awal pantai Sorake dalam benak kami adalah pantai putih dengan ombak besar dan banyak “bule-bule” berbikini di pantai. Namun kenyataan berkata lain. Pantai Sorake hanya pantai batu karang dengan ombak yang tinggi dan tidak banyak bule. Hanya beberapa orang bule yang tampak sedang bermain selancar dan duduk di pantai.
Dari info masyarakat setempat, memang bulan ini tidak banyak turis asing. Pada saat Summer Time saja banyak turis asing disini. Yaitu antara bulan mei sampai juli. Dimana kontes Surfing internasional digelar tiap tahun. Garis ombak ombak panjang setiggi 10 meter tentu saja menjadi daya pikat penggila selancar dari penjuru dunia.
peselancar dan peturing
Bergaya ala peselancar profesional
Mau main selancar di laut gak bisa berdiri, mending dipasir aja gak bakalan jatuh. haha
Karena kami ke pantai hendak camping. Pantai Sorake terasa tidak cocok karena pantai yang berbatu karang tanpa pasir. Akhirnya kami pindah menuju pantai Lagundri berjarak sekitar 1 Km dari Sorake.Tiba di lagundri langsung permisi pada pemilik warung untuk mendirikan tenda di pantai.
Dari pemilik warung  aku dapat cerota bahwa mereka adalah keluarga muslim dan lebih kurang.ada 17 keluarga yang sudah muslim dan sadaranya masih banyak yang nasrani walaupun begitu mereka tetap rulun
Camping kami
Yah..disinilah kami akan bermalam sampai esok siang. Sengaja kami camping disini agar puas main di pantai indah ini. Dari mulai menyewa papan salancar seharga 30 ribu. Jalan-jalan di pantai. Duduk melihat aksi selancar orang-orang yang sudah pro dan beraktivitas lainnya menikmati undahnya pantai. Opung dan ucup ikut short training surfing,tapi memang satu hari belum cukup untuk jadi peselancar. Di sore hari dikala matahari hendak terbenam, sunset indah kami abadikan dalam bentuk foto Sunset di Lagundri bay
Malam tiba kami duduk di depan tenda melingkari api unggun sambil menunggu nasi masak,nyanyian ombak dipantai bagaikan berzikir pada penciptanya,aku makin tertunduk dan makin terasa kecil mengingat kebesaran Allah yang menunjukan keindahan ciptaanNya padaku saat ini....tidak ada kata kata untuk mengungkapkan keindahan suasana kala itu dan mulutku hanya bisa menyebut Maha besar engkau ya Allah yang telah menjadikan semuanya ini.....
Nasi hangat dengan lauk ikan asin sambalado goreng siap untuk kami santap,cerita pengalaman selama perjalanan dan kekonyolan diri sendiri menjadi lucu saat itu,malam makin larut kami mulai masuk tenda untuk istirahat,sekitar jam 03 malam subhanallah hujan dan angin badai menggoyang seakan menerbangkanku bersama tenda ini,lalu aku merasakan air menggenang dilantai tenda,heran dari mana datang genangan air ini,aku lihat ke arah atas tendan hanya sedikit rembesan saja,hujan makin lebat dan matras ultraligh yang yang dibawa dari USA lalu terapung oleh air,aku baru menyadari ternyata aku membuat kekeliruan yaitu mengembangkan flysheet dibawah tenda dengan tujuan supaya tendaku tidak dikotori pasir namun akibatnya jadi fatal air hujan tidak langsung diserap tanah tapi tergenang di atas flysheet ini.
Aku mencoba keluar tenda untuk mengambil flysheet tersebut tapi aku urungkan karena hujan dan badai yang masih besar,aku hanya duduk jongkok ditenda sambil menulis catatan perjalanan ini hingga hujan reda sampai datangnya subuh.



tenda di genangi air

Berkemas
Pagi ini Sun rise tidak jelas terlihat karena mendung,aku keluarkan dari tenda  pakaian yang basah kena hujan tadi malam dan dijemur lagi diatas sepeda,kami berencana menunggu tenda agak kering baru berangkat ke kota Teluk dalam,tapi tanpa terduga hujan turun lagi,kami terpaksa menunggu hujan reda baru berangkat.
Jam 12.30 kami pamitan pada bapak yang punya resort dan mendayung sepeda ke polres Teluk dalam,di polres kami bertemu wakapolres beliau memberi bantuan transport untuk membawa kami kembali ke Gunung Sotoli. Sehabis magrib kami dibawa dengan bus polisi dan sepeda dinaikan keatas truck polisi.sesampai di Gunung sitoli jam 22.00 malam kami ditawarkan pak supriadi polisi yang memberi tumpangan untuk tidur di polres dan kami disuruh menunggu di persimpangan jalan karena dia ada keperluan sebentar,tapi setelah ditunggu sampai setengah jam beliau tidak datang,lalu ditengah malam itu kami mencoba pergi sendiri ke polres,ditengah perjalanan aku di panggil pak Bob aldin dari rumahnya,kami berhenti lalu beliau menawarkan masjid Al islami  untuk tempat istirahat kami malam itu.
Kami menerima tawanan yang simpatik itu dengan perasaan suka cita karena terbebas dari menggelandang di malam yang dingin itu.
Masjid Al Islami terletak di daerah bisnis jl.Diponegoro,mayoritas penduduk disini perantau Minang yang sudah bermukim sampai tiga generasi umumnya sebagai pedagang. Pak Mucklis (60thn) seorang perantau minang asal Malayo yang sukses datang ke Nias Gunung sitoli sejak thn 1964 beliau dibawa kakeknya
Sekarang pak Mukhlis pedagang  yang juga menjadi aktivis di partai PAN dan muhamaddiayah itu mempunya tiga orang anak yang sudah serjana dan empat orang cucu. pak Aldrin Tanjung (50thn) asal Sungai jariang Agam lahir di Gunung sitoli seorang pedagang emas yang sukses. Kita tidak merasa di Nias kalau berada di daerah pasar ini karena sering terdengar orang berbahasa minang didaerah ini.
Paginya kami didatangi kawan kawan goweser nias gureta club (ngc) lalu menyerahkan baju NGC sebagai kenang kenangan untuk kami.
Pak Ari petugas
Selesai sholat jumat beberapa anggota ngc mengajak kami untuk makan siang bersama,pak Ari teman gowes ngc adalah seorang petugas ferry sudah bookingkan ticket ferry ke Sibolga untuk kami berlima,
Sehabis magrib kami diantar oleh teman teman komunitas sepeda ke dermaga ferry sejauh 1km dari masjid.
siap siap pulang

Kapal ferry Kmp.Belanak warna putih dan biru kayaknya lebih besar dari kapal ferry yang kami tumpangi sebelumnya. Pak Ari memberikan ticket lalu kami dipersilahkan masuk leboh duluan dari penumpang lain,terasa sekali kami diistimewakan..
Kami diantar naik ke lantai dua di sebuah ruangan yang ber AC,kursi sofa yang empuk serta sebuah kasur dipersiapkan dibawahnya seandainya kita ingin tidur,kontras sekali dengan suasana ruangan klass ekonomi yang bising dan semrawut,itulah kehidupan yang penuh warna warni.jam 20.30 kapal mulai bergerak tinggalkan bumi Nias.

5.Tour de Km 0_Dibawah pohon beringin

Ahad_23 januari16
Pagi ini Kawan kawan KONSEP (komunitas sepeda padang sidempuan) dberkumpul lagi di posko,kami makan pagi bersama lalu jam 09.00 berangkat dengan diantar oleh kawan kawan tadi,jalan kota Padang sidempuan yang mulai padat kami penuhi dengan beberapa pesepeda yang mengapit kami di muka dan dibelakang,beberapa diantara pesepeda mengambil foto dan video kami,sampai batas kota lalu mereka kembali pulang,aku merasakan suatu kehormatan dari sahabat sahabat yang baru sehari kami kenal tersebut tapi Subhanallah rasanya seperti sahabat lama yang ketemulagi,ini lah salaha satu segi positifnya dari persahabatan di komunitas sepeda di Indonesia ini.
Jalan langsung nanjak mulai dari batas kota hingga desa Parsalakan lumayan tinggi,udara panas sangat menguras tenaga. Kami melintasi susunan bukit barisan seperti tak habis habisnya diisuatu tikungan yang ada sungainya kami berhenti dekat sebuah restoran yang cukup besar,didepan restoran parkir beberapa beberapa kendaraan mobil besar dan kecil,sepertinya restoran itu cukup populer di daerah tersebut,dari papan nama dekat restoran aku membaca taman rekreasi sungai Hapesong baru kecamatan batang toru lalu kami turun kearah sungai tersebut dengan menuntun sepeda karena terlalu curam untuk di naiki,suatu lembah yang hijau dikelilingi tebing dengan kerimbunan pohonnya kemudian didasar lembah mengalir sungai yang jernih dengan batu batuan kali besar,banyak pengunjung mandi dan menghanyutkan diri mengikuti aliran sungai yang jernih tersebut kemudian mereka berhenti di batu batu kali yang besar dipinggir sungai sungguh merupakan taman rekreasi yang sangat alami tanpa rekayasa,dipinggir sungai ada beberapa pendopo untuk para pengunjung istirahat,kami parkir sepeda disamping pendopo lalu istirahat selonjoran kaki yang pegal.
istirahat disini

Ucub dan Gozy mulai memasak untuk makan siang,nasi hangat dengan lauk ikan asin seadanya sambal lado,sungguh tak ada tandinang nikmatnya saat itu,suasana lembah yang nyaman serta suara aliran sungai  yang menyejukan membuat kami terkantuk kantuk dan ada yang tertidur sampai jam 14.00, akhirnya kami memutuskan untuk bermalam disitu.
Aliran sungai yang jernih dengan batu batuan yang besar sangat nyaman untuk mandi mandi dan mencuci pakaian kami yang sudah kotor sejak seminggu terakhir,
Daerah ini betul betul terisolir dari dunia luar karena tidak ada signal untuk berkomunikasi.
Jam 17 sore terasa sudah gelap,pengunjung sudah pulang dan tidak ada yang tinggal hanya kami berlima tinggal di lembah itu.
Sungai Hapesong

Dari desa terdekat aku mendengar suara azan magrib,aku menaiki tebing untuk menuju ke mushala di desa pinggir jalan tersebut guna sholat magrib,mushala ukuran empat kali empat meter tersebut diisi oleh enam orang jama'ah magrib termasuk aku.selesai magrib aku ngobrol dengan Pak Nasution pemilik restoran satu satunya disitu,pak Nasution bercerita banyak tentang perjalanan hidupnya merantau ke daerah jawa kemudian jadi pelaut terakhir setelah punya modal dia kembali ke Kampungnya sekarang membuka usaha kafe dan karaoke yang dekat dengan kemudaratan,jiwa nya terasa gelisah terus walaupun uangnya banyak,akhirnya dia tinggalkan binis karaoke tersebut lalu merobahnya jadi restoran,sejak itu bathinnya mulai tenang dan dia mulai mengenal Allah dan rajin sholat,pulangnya membeli lauk untuk makan malam kawan kawan.
Malam kami tidur di setiap gazebu yang ada di pinggir sungai,kebetulan opung yosef dan tidur di gazebu atau pondok dibawah pohon beringin sempat berteriak histeris ditengah malam dan sewaktu pagi opung ditanya apa yang terjadi tadi malam dengan agak malu malu opung menceritakan bahwa dia mengira mahluk halus yang mencolek pantatnya hingga dia menjerit keras"aaaaAAUU" tapi ternyata yang mencolek adalah kakinya Gozy. Ternyata opung perkasa di atas sepeda namun begitu rapuh soal mahluk halus...hehe.
Senin 24 Januari 16.
Tinggal 35km lagi kami memasuki kota Sibolga,di batas kota seseorang menyamperi kami,pak Sunarto seorang anggota polri juga sebagai penggiat sepeda di Sibolga menjemput dan mengantar kami ke daerah wisata pantai Pandan lalu sore kami nya berpisah dan bersilaturahim dengan PM sibolga yang akan mengurus keberangkatan kami dengan kapal ferry ke pulau Nias.