Pages

Wednesday, February 24, 2016

13.Tour de Km0_mengejar pulau Impian.


Accomplish mission

Sabtu 13 Februari 16
Pagi yang indah kurasakan,kalau di izinkan Allah sebentar lagi kami akan meraih impian menduduki ujung indonesia paling barat dititik kilometer nol Sabang.
Kawan kawan sibuk memisah barang yang akan dibawa dan yang akan dititip dirumah pak Yusuf seolah olah mereka tidak pernah merasa capek.
menuju Uleleu

Heri Santi sahabat gowes dari aceh sudah menjemput dan akan mengantar kami ke dermaga ferry Uleleu,tepat jam 7 pagi kami keluar rumah di udara yang cerah,sepeda kami menggelinding lagi di jalan mulus kota serambi mekah ini,trafik sudah mulai ramai dengan kendaraan anak sekolah dan masyarakat untuk beraktivitas di hari sabtu itu.Melihat masyarakat Banda aceh aku merasa berada di Kuala lumpur mungkin ini dikarenakan kaum hawa nya yang umumnya berkerudung dan kaum prianya jarang terlihat bercelana pendek kecuali anak anak,aku sendiri selama ini biasanya bersepeda memakai celana pendek sebatas lutut yang syar,i menurut aturan Islam tapi supaya lebih aman aku memakai celana panjang walaupun kurang nyaman untuk dibawa bersepeda.
Kami menuju keutara ke pinggir pantai yaitu Daerah uleelheu,daerah ini pernah kudatangi di tahun 2005 satu minggu setelah bencana Sunami yang waktu itu bertugas jadi relawan Bulan sabit merah,bencana Tsunami telah memporak porandakan dan merata rumah penduduk dengan tanah, serta menjadi tumpukan sampah muntahan tsunami,jenazah korban yang bergelimpangan sudah tidak sanggup lagi untuk dikumpulkan waktu itu karena jalan yang aku tempuh saat ini sangat sulit ditembus,tapi sekarang kami datang sebagai turis dan sangat bersukur melihat perubahan dengan bangunan dan infrastruktur yang baru dengan penataan makin rapi dan bersih seakan disini tidak pernah terjadi peristiwa yang menyedihkan beberapa tahun silam.
Kami sampai di dermaga ferry jam 09.00 pagi lalu Heri santi dan pak Ben yang baru kami kenal membantu kami beli tiket ferry ke Sabang seharga rp25ribu/orang dan rp11.500/sepeda,jam keberangkatan ferry yang masih 2 jam lagi aku gunakan untuk menulis catatan perjalanan yang akan di kirim ke sebuah media cetak di Pekanbaru.
Kapal berangkat dari uleelheu Jam 11.10 lalu kami mencari tempat yang nyaman di ruangan duduk,penjual makanan hilir mudik didepan kami musik dangdut terus mengalun,turis lokal lebih berpenampilan rapi kadang lebih "manja" dan parlente.
ferry ke Sabang

Dari tampilan dan tingkah penumpang terlihat menunjukan banyak diantaranya sebagai turis lokal ke pulau Sabang dan beberapa terlihat juga turis asing atau backpacker yang biasanya mencari penginapan murah meriah dan belanja irit pakaian agak kumal dan seadanya,sedangkan kami sendiri termasuk semrawut seadanya dan katagori gelandangan lokal...hehe
Sampai di pelabuhan Balohan Sabang jam 13.12 cari makan siang diluar pelabuhan seharga Rp15ribu prasmanan pakai ikan goreng.
Selembar peta Sabang weh island yang didapat dari pusat informasi turis di pelabuhan Balohan ini kami gunakan sebagai pedoman rute perjalanan yang akan ditempuh ke titik nol dan dari google map aku cek jaraknya hanya 19 km dari dermaga,dengan penuh keyakinan karena perjalanan pendak apalagi menyusuri pinggir laut dengan jalur datar aku perhitungkan dalam dua jam atau setelah ashar kami tentu sudah sampai di titik nol
Selesai sholat Dzuhur di masjid Jamiq dekat pelabuhan kami mulai mendayung sepeda kearah utara dan kira kira 2km diluar kota terlihat tanjakan menjulang yang menciutkan nyaliku sehingga aku dan kawan kawan sedikit ragu apakah jalan yang akan kami tempuh sudah benar,setelah memastikan pada salah seorang penduduk yang lewat kami baru berani melanjutkan pendakian ini,udara siang yang panas sedikit teredam oleh rimbunnya pepohonan hutan dikiri kanan jalan,desah nafasku yang kencang dan bunyi serangga hutan mengiringi kayuhanku saat itu.
Lebih kurang 3km kita mencapai puncak dan lebih jauh kedepan ketemu perkampungan aneuk laot,kemudian dari sini sepeda meluncur tajam dikiri terlihat danau laut tawar aneuk laot lalu tanjakan lagi merayap ke Krueng raya dan disebelah kanan dari puncak terlihat kota Sabang dengan pelabuhannya. Kami susuri terus sisi barat jalan rolling bagai di punggung naga yang terasa tidak habis habisnya.
Setiap melihat tanjakan tajam ada perasaan ciut dihati,perasaan bosan karena lapisan bukit yang rasanya tidak pernah selesai,selalu ada lagi bukit dengan tanjakan berikutnya.
Kota Sabang dikejauhan

kadang kadang kawan tidak percaya diri apakah masih di track yang benar atau sudah nyasar,aku tidak memperkirakan track yang begitu extrem dengan tanjakan yang menjulang dan seakan akan tidak habis habisnya.Ditanjakan daerah ujung Batemeutiyeng tiba tiba rantai sepeda ucup putus,kami tertahan kira kira 15menit untuk perbaikannya,disini aku menyadari kekeliruan terlalu menganggap remeh medan yang akan ditempuh,aku terasa capek sekali dan harapanku saat itu didepan bisa ketemu pantai lalu mencari tempat untuk menginap malam itu.
Rantai putus

Kami melanjutkan perjalanan masih saja diperbukitan dan dibawahnya terlihat pinggir pantai,disuatu pertigaan terbaca penunjuka arah ke pantai Iboih kami ikuti arah ini yang menurun panjang seakan kanvas rem sepedaku bisa habis menahan terjalnya.
Sampai di daerah Gapang,sayup sayup aku mendengar kumandang azan Ashar,aku lihat jam 15.45 dan dari speedo meterku terlihat jarak tempuh baru 17km berarti 12km lagi ke titik nol dengan medan yang masih dipegunungan,tiga jam sudah kami mendayung beratnya terasa lebih satuhari perjalanan, pada satu persimpangan secara kebetulan sepeda opung Yosef bocor,disini kami berhenti dan memutuskan untuk mencari penginapan di Gapang beach,kami masuk gerbang Gapang beach di pinggir pantai yang bersih,disisi jalan kanan berderet cottage dan bungalows,aku menanyakan rate cottage ternyata rp 400ribu/malam kawan kawan langsung terdiam lesu karena terasa mahal untuk ukuran kantong kami.
menjelang Iboih

Di paling ujung jalan pantai ketemu Gapang western beach Bungalows posisi menghadap ke pantai,aku melihat beberapa turis asing duduk duduk di kursi santai becenkrama dan menikmati tiupan udara dingin laut dengan matahari yang mulai memerah tembaga.
Gapang western beach Bungalows

Aku menuju recepsionist yang merangkap penjaga cafe dan toko soufenir yang ada di lanti satu,harga kamar RP100ribu/malam dan bisa diisi 2orang,cukup murah dengan fasilitas ait tawar yang melimpah,kamar berada di tingkat dua berdinding gdek bambu tapi bersih dan tenang,banyak turis asing yang nginap disini,tempat yang masih alami dan tanpa gedung gedung menjulang atau hotel hotel berbintang,kami berencana istirahat disini sampai senin lusa.

Kamar ukuran 3x3 meter yang berlantai papan dan dilapisi plastic tile kemudian dinding anyaman bambu  mempunyai satu jendela menghadap ke pinggir laut,dilantai ditengah kamar ada dua spring bed,desiran ombak dan angin pantai terdengan sampai kekamar sensasi yang begitu alami saat itu.
nasi goreng

Selesai mandi dan mencuci pakaian kami duduk di cafe menikmati teh panas dan nasi goreng,awan hitam yang berat terlihat bergayut diufuk barat dan tidak berapa lama hujan yang cukup besar turun mengguyur.Kami berencana istirahat sambil menikmati keindahan pantai ini sampai esok lusa
Gapang

Senin 15 Februari 16.
Seharian kemarin Minggu 14 februari,aku hanya jalan jalan di pantai lalu duduk dipinggir pantai sambil browsing dan opung bermain smorkling,betul merupakan hari istirahat yang istimewa hari itu.
Jam 6.30 pagi ini kami mulai bergerak dari Gapang beach menuju titik kilometer nol yang berjarak 13km lagi.
Menjelang Desa Iboih sepeda meluncur diturunan dan melipir ke pinggir pantai,masuk disini banyak kita temui cattage dan homestay murah,kadang kadang kita papasan dengan turis turis asing yang bersepeda motor dan ada juga yang sedang trecking ke arah titik nol,Iboih dikenal dengan pantainya yang indah lalu lautnya termasuk yang terbaik di dunia untuk para penyelam,banyak turis asing mampir kesini dengan agenda diving saja.
Melewati Iboih kembali tanjakan maik turun, kita disuguhi hutan wisata Sabang yang teduh. Dengan jalannya yang tak terlalu lebar namun beraspal mulus. Bahkan karena rimbunnya hutan wisata ini, cahaya matahari pun tak bisa sepenuhnya sampai ke bawah,jalan mulai menanjak menyeberangi beberapa lapis bukit yang berkabut,keringat bercampur embun pagi membasahi badanku,bunyi teriakan monyet yang bercanda dalam hutan dan kicauan burung liar menambah indahnya pagi itu dan sedikit mengurangi capek.
Tanjakan sebelum titik nol

Aku lihat speedo meter yang baru menunjukan 7km tapi capeknya sama dengan perjalanan 50km.
Di stasiun radar TNI aku sempat dikejar 4 ekor anjing piaraan tentara,ini kali pertama aku melihat anjing selama di aceh. Disatu puncak tanjakan aku melihat beberapa warung dan lebih jauh lagi terlihat tanda parkir menuju tugu kilometer nol,dengan perasaan lega aku turun dari sepeda dan menuntunnya disepanjang jalan yang kiri kanannya dipenuhi warung tidak permanen tak ubahnya seperti barak barak pekerja. Beberapa pohon besar masih tetap bertahan kehijauan walaupun pemandangan warung warung kayu yang ada sangat tidak nyaman dipandang,mudah mudahan kedepannya pemerintah sudah bisa menata agar lebih enak dan nyaman lingkungan. ..

Sebuah bangunan tugu yang sedang dibangun terlihat menjulang setinggi lebih kurang 30meter,beberapa pekerja sedang sibuk menyelesaikan bangunan tersebut,disebelah barat ada tulisan besar kilometer nol warma orange,ini lah titik paling ujung barat Indonesia yang selalu diidam idamkan orang termasuk aku untuk mencapainya. Alhamdulillah hari ini mimpiku sudah kesampaian,kami bersalaman dan saling berangkulan gembira dan haru menyambut keberhasilan setelah sebulan berjuang dalam suka dan dukanya perjalanan bersepeda. Hari ini rasa letih itu rasanya sudah terbayar,aku memandang Laut Andaman terhampar biru dengan ombaknya yang menderu dari area tugu yang saat ini sedang di ganti baru.
Angin kencang dan hujan besar tiba tiba turun,aku berlindung kewarung terdekat sepeda kubiarkan parkir di nol kilometer itu,ucup mencoba urus certificate pada petugas wisata swasta yang ada disitu mengatakan bahw kalau ambil disini ongkosnya rp30 ribu rupiah,Akhirnya kita tidak jadi ambil certificaye disitu tapi Opung akhirnya  ngga sabar ambil certificate disitu dan bayar langsung rp30ribu.
Jam 11.30 sehabis makan mie rebus diwarung yang ada disitu kami langsung meluncur lagi kearah kota Sabang,rute yang tadi kami jalani kini terpaksa ditelusuri lagi dengan berat hati karena pengulangan rute yang sama memang kurang menarik.
Pengalaman yang lucu dan konyol terjadi sewaktu aku menurun jalan kearah Iboih disatu tikungan tajam terlihat segerombolan monyet di jalanan,ditikungan menurun dan tajam itu aku harus perlambat sepeda agar tidak terpleset atau nyelonong ke jurang, lalu beberapa monyet besar berjalan kearahku mengggertakku sambil mengerang memperlihatkan taringnya,aku yang sendirian waktu itu membayangkan akan dikerubuti monyet lalu begitu sepeda melewati tikungan maut tadi aku kayuh sekencang kencangnya beberapa saat kemudian datang mobil dari belakang dan sopirnya menyapaku sambil cekikan "aman pak monyetnya udah pergi" aduh aku jadi malu tapi bersyukur juga karena ada mobil tadi monyetnya ngga jadi mengerubutiku.
Jam 16 sore kami memasuki kota Sabang terlihat dermaga kapal disebelah kiri dan makin jauh lagi kita memasuki jalan Yos sudarso,lalu kami berlima berkunjung ke Polres,kami disuruh tunggu oleh polisi piket lalu tidak berapa lama kemudian bapak petugas piket mempersilahkan kami masuk ke ruangan Kapolres,aku agak kikuk juga mengingat tampilan kami yang sudah kumaĺ dan aroma yang mungkin menyengat di tubuh.
Satu persatu kami disalami oleh Kapolres ibu akbp dra Nurmeiningsih sh,ibu kapoles yang ramah dan candanya menghilangkan kepenatan kami saat itu. Tawaran beliau pada kami untuk menginap dirumah dinasnya beberapa hari langsung kami iyakan,selesai dijamu makan lalu diberi "amplop"....!! Woow luar biasa,bisa beli oleh oleh buat pulang ini bisik kawan kawan,terimakasih entah berapa kali diucapkan kawan kawan saking bahagianya..hehe
kami diantar anggotanya ke rumah dinasnya di Jl.Diponegora.
di rumah Kapolres

Selasa 16 Februari 16
Pagi sehabis ngopi aceh kami diajak oleh petugas jalan jalan  yang akan mengantarkan kami dengan mobil untuk city tour.
Pertama ke Pantai Sabang fair disini kita bisa duduk duduk menyaksikan indahnya samudra hindia serta melihat meriam kuno peninggalan Portugis lalu kami lanjut ke Sabang hill untuk melihat kota sabang dari ketinggian kemudian kami lanjut ke pantai sumur tiga dengan keistimewaannya sumur air tawar yang terletak di pinggir pantai kemudian disekitarnya ada cotage cotage terletak dipinggir cadas jurang yang disambut pantai pasir putih menghadap samudra Hindia yang biru ,kami mampir disebuah cafe dan pesan kopi sambil menikmati samudra yang biru,beberapa turis asing terlihat berbaring malas malasan di teras cottage lalu ada yang pergi ke pantai untuk mandi dan snorkling.
Rabu 17 Februari 16.
Subuh di sabang lebih siang jam 05.30 selesai packing kami pamitan pada ibu kapolres lalu beliau menyerahkan certificate kilometer nol. Kami menuju pelabuhan Ferry balohan,jam 8 pagi ferry langsung berangkat menuju Banda Aceh dan sampai di pelabuhan Ulelheu Banda aceh.
Pak yusuf mengontekku bahwa beliau menunggu kami di pelabuhan ferry Ulelheu lalu pak Derry teman Abasri juga menjemputkami,kemudian Heri Santi dan pak Pen semuanya menunggu kedatangan kami terasa istimewa sekali rasanya dijemput seperti itu.
Pak Derry,heri santi dan pak Pen akhirnya menemani kami ke mesium pltd terapung.
Petugas petugas yang ramah menunggu kami di gerbang masuk dan istimewanya memasuki area ini tidak dipungut biaya.
Kedhasyatan gelombang tsunami yang menerpa pesisir utara Banda Aceh pada Bulan Desember 2004 yang lalu ternyata masih meninggalkan jejak. Tidak hanya masih terbayang dalam ingatan, tsunami juga meninggalkan jejak berupa monumen. Monumen yang menjadi peringatan bagi siapapun terhadap dahsyatnya kekuatan alam.


Monumen PLTD

Salah satunya adalah Monumen PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) Apung di Desa Punge, Blancut, Banda Aceh. Sesuai namanya, kapal ini merupakan sumber tenaga listrik bagi wilayah Ulee Lheue – tempat kapal ini ditambatkan sebelum terjadinya tsunami.
Kapal dengan panjang 63 meter ini mampu menghasilkan daya sebesar 10,5 megawatt. Dengan luas mencapai 1.900 meter persegi dan bobot 2.600 ton, tidak ada yang membayangkan kapal ini dapat bergerak hingga ke tengah Kota Banda Aceh.
Ketika tsunami terjadi pada tanggal 26 Desember 2004, kapal ini terseret gelombang pasang setinggi 9 meter sehingga bergeser ke jantung Kota Banda Aceh sejauh 5 kilometer. Kapal ini terhempas hingga ke tengah-tengah pemukiman warga, tidak jauh dari Museum Tsunami.
Dari 11 orang awak dan beberapa warga yang berada di atas kapal ketika tsunami terjadi, hanya satu orang yang berhasil selamat. Fenomena pergeseran kapal ini menunjukkan kedahsyatan kekuatan gelombang yang menimpa Serambi Makkah kala itu.
Saat ini, area sekitar PLTD Apung telah dibeli oleh pemerintah untuk ditata ulang menjadi wahana wisata edukasi. Untuk mengenang korban jiwa yang jatuh akibat tsunami, dibangun monumen peringatan. Pada monumen itu, tertera tanggal dan waktu kejadian dari musibah yang juga menimpa beberapa negara selain Indonesia.
monumen tsunami.

Di sekeliling monumen, dibangun dinding dengan relief menyerupai gelombang air bah. Dari atas kapal ini, pengunjung juga dapat melihat rangkaian pegunungan Bukit Barisan.
Kemudian kami lanjut ke mesium sunami
Museum Tsunami Aceh mulai dibangun pada tahun 2007, diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 27 Pebruari 2009 dan baru resmi dibuka untuk umum 8 Mei 2009.
Ridwan Kamil adalah Architecture dari bangunan yang spectakuler ini.
Fasad Museum Tsunami Aceh terinspirasi dari tari Saman yang menggambarkan hubungan antar umat manusia. Memasuki musium pengunjung akan melewati sebuah lorong yang disebut Space of Fear (Lorong Tsunami), suasana saat tsunami menggulung Aceh akan dirasakan di tempat ini. Aliran air di dinding sepanjang lorong yang sempit dan gelap disertai suara gemuruh air adalah refleksi ketakutan yang luar biasa ketika para korban berlari menyelamatkan diri dari kejaran air bah.kemudian ada sumur doa,lorong cerobong semua menggambarkan betapa mengerikan dan memilukan peristiwa tsunami tersebut.

Fasad Museum Tsunami Aceh
Kami juga menyempatkan diri berkinjung ke masjid Baitul Rahman yang menjadi salah satu benteng penyelamat dan tetap berdiri kokoh diwaktu tsunami,banyak warga yang menyelamatkan diri ke masjid yang kokoh ini.
Sebelum magrib kami sudah pulang menuju rumah pak Yusuf Mahmud di Gapoung peuneng,pak yusuf begitu setia menunggu kedatangan kami dirumah beliau.
Kertas karton sepeda yang sudah disediakan untuk packing sepeda kami langsung kami jajal dengan sepeda,pak yusuf sebagai tuan rumah ikut sibuk menolong kami packing.
Hari ini adalah hari terakhir kami turing dan besok pagi genap satu bulan perjalanan kita tapi perjalanan dan mimpi berikutnya masih menunggu kita,salam sehat buat kita semua dan sampai jumpa di perjalanan berikutnya..amiiin

No comments:

Post a Comment