Pages

Thursday, March 8, 2018

7.Trans celebes cycling xpdc_kesuku Bajo

5februari,sehabis subuh kami diantar pakai mobil oleh pak Syamsul bahri sekeluarga menuju desa Toboli,jalan yang sudah pernah kami lewati dengan sepeda ini memang terlihat terlalu gila untuk dilewati dengan bersepeda,tapi beda kalau kita sudah diatas sepeda,kita tidak pernah untuk mundur atau menyerah,itulah ajaibnya spirit bersepeda yang aku rasakan. Dalam dua jam kami sampai di pertigaan Toboli. Pak Alan kepala dinas parawisata dan beberapa pejabat kantor bupati Parigi yang dari pagi menunggu mempersiapkan makan pagi untuk rombongan kami lalu secara simbolis penyerahan certificat of equator crossing dari Wakil bupati Parigi moutong yang diwakili bapak Alan. Jam 09 kami dilepas oleh tuan rumah dan komunitas sepeda Parigi Moutong untuk melanjutkan perjalanan kearah utara. Udara panas sepanjang sangat menyengat ke kulit,angin dari pantai Tomini disebelah kanan kami bisa sedikit menghilangkan siksa panas khatulistiwa,aku merasa kurang semangat hari ini mungkin karena termanjakan 2hari istirahat di palu menjadikan kami jadi loyo,aku utarakan hal ini pada kawan kawan ternyata mereka merasakan mental yang sama,baru 48km perjalanan akhirnya kami memutuskan untuk istirahat di masjid Alhuda dusun Pinotu desa Siaga. Diseberang masjid ada pantai dengan beberapa rumah penduduk,aku mendekat ke pantai tersebut,terlihat bersih dengan air pantai yang jernih,aku coba menanyakan pada warga yang ada apakah boleh camping disitu,ternyata kami diizinkan,lalu sebelum magrib kami mendirikan tenda berjarak sekitar 2meter dari pinggir air pantai. Beberapa warga ikut berkumpul dan ngobrol dengan kami dekat tenda. Udara agak panas,tenda yang aku pasang hanya bagian dalamnya saja seperti kelambu,ini supaya tidak terlalu panas. Terlihat bulan purnama besar sekali diatas horizon menerangi laut yang bagai kaca dibawahnya.
Teluk Tomini bagaikan Mutiara di khatulistiwa,sebuah kawasan indah di Sulawesi Tengah yang posisi geografisnya dilintasi garis khatulistiwa. Dalam pembagian keanekaragaman hayati, kawasan ini berada di zona Wallacea, yang dalam sejarahnya merupakan kawasan terpisah dari Benua Asia maupun Australia.

Rembulan tersenyum dibalik awan tipis berbagi kebahagiaan untuk sesamanya.
Perahu bayangan siluet berlayar tenang bagaikan ninja tak bersuara.
Aku rebahkan tubuh ini memandang ke laut lepas.
Semilir angin laut menyejukan mukaku yang legam terbakar mentari.
Bibir ombak pantai mengalun bergantian mereka bercanda ingin menyapaku.
Aku hanya diam memandang opera sang maha pencipta.
Ingin rasanya aku berbagi kebahagiaan saat ini namun kata kata tidak cukup untuk mengungkap keindahan ciptaan Nya.

Ikan ikan kecil bekejar kejaran di dasar pantai,mereka menikmati indahnya malam yang diterangi rembulan.

Subhanallah..mereka semua bergerak,mereka semua berzikir dengan caranya...  :
Bibir pantai mulai menjauh dariku dan diriku ini semakin kecil..kecil...dan lenyap

"Maka, nikmat Tuhan-Mu yang manakah yang engkau dustakan?" (QS Ar- Rahmaan: 13).

Sekitar jam tiga pagi disaat terlena dalam mimpi terasa angin kencang sekali bertiup dan benggoyangkan tendaku,butiran butiran hujan menerpa kedalam tenda yang tanpa kain atap dan membasahi tubuhku,aku keluarkan barang barang dalam tenda lalu pindah menuju ke masjid,kawan lainnya tetap ditempat karena tendanya sudah aman terpasang atap luar.
Pindah ke masjid hujan masih tetap berlanjut tapi mataku sudah tidak bisa tidur sampai subuh datang.
Pagi ini sebelum berangkat kami dijamu dengan kopi panas oleh ustad Said Bafaqih imam masjid.
6febebruari pagi hujan masih turun rintik rintik roda sepeda bergulir memercikan genangan genangan air dijalan aspal Pinotu.
Dari kejauhan di jalan raya Trans Sulawesi didaerah Tinomba kecamatan Parigi moutong terlihat tugu Khatulistiwa seakan menghadang jalan raya,disini kami berhenti untuk istirahat sholat dan befoto foto di tugu tersebut.uniknya didaerah ini telor mentah bisa berdiri. Kami sholat di masjid yang disumbangkan oleh pak Tri sutrisno wakil presiden zaman orba,sayangnya masjid tidak terawat dengan baik sehingga terlihat kotor. Siang selagi hujan masih turun kami meneruskan perjalanan hingga desa Tinomba dan nginap di masjid yang cukup bagus kalau kawan kawan mengatakan masjid bintang lima karena fasilitas mandi dan kipas angin dan lantai yang keramik yang bersih,ini versi penilaian ala peturing budgeting..hehe.
7 february kami lanjutkan menuju Moutong,
Sebelum Desa ongka jalan relatif datar dan sepi,tanjakan mulai terasa 27km menjelang desa kayu Jati,dari kayu jati kami istirahat di balebale dan makan pisang segar sambil memandang sangarnya puncak  Santigi (berasal dari kata Sangat tinggi) yang harus dilewati,lebih kurang 4km menanjak rasa seperti satu hari perjalanan,rasa capek terbayar setelah memandang kebawah ke arah Desa Bolano lambunu,jalan mulai datar hingga kami sampai di desa Moutong.
Jam 5 sore kami berhenti dan  kami numpang nginap di Masjid Pertamina Moutong.
8 februari sepeda kami kayuh lagi ke utara hingga 100km dan sampai di desa Lemito,di pinggir jalan trans sulawesi kami melihat sebuah masjid jamik disitulah kami numpang nginap,masjid yang bagus dan terawat,menurut informasi masjid ini dirawat dengan hasil kelapa salah seorang jamaah yang sudah neninggal,sungguh luar biasa harta yang ditinggal manfaat untuk umat,semoga Allah membalas dengan segala keberkahannya..amiin.
Malamnya kami berempat di jamu makan oleh seorang jamaah pak Syamsu rizal seorang petani jagung,kami sangat bersukur karena didaerah itu tidak ada warung makan, kalau tidak dijamu tentu kami tidak bisa makan malam itu,inilah cara Allah memberikan rezki pada kami.
9february jam 7 pagi dari Lemito kami berangkat menuju Merisa,jalan trans sulawesi sepi  dari kendaraan udara cerah dengan cahaya merah tembaga matahiri pagi menambah semangat untuk mendayung sepeda,jarang terlihat rumah penduduk,masuk perbatasan desa sejoli (sulteng)terlihat gapura besar sebagai batas propinsi sulteng dengan sultra,desa pertama di gorontalo yaitu Molosipat. Sepanjang jalan dan perbukitan terlihat tanaman kelapa,suatu kali kami mampir ke tempat petani sedang membelah kelapa untuk jadi kopra,lalu kami menanyakan untuk membeli air kelapanya,diluar dugaan petani tersebut mengatakan airnya gratis sampai berapapun,karena selama ini airnya hanya dibuang hingga membuat becek dan menggenang di halaman rumahnya.
Jam 8.10 siang kami sampai di pertigaan Desa Torosiaje,kami mendayung sepeda lagi sekitar 1km kedalamnya dipinggir laut terdapat dermaga kecil ke desa,).
Objek wisata yang unik dan jarang diketahui wisatawan,saat ini ada didepan mata kami yaitu perkampungan suku Bajo di atas laut Tomini.
Saya pernah impikan untuk berkunjung ke Maldivest....tapi belum kesampaian,perlu kumpul dana yang aduhai mahalnya untuk kesana...hehe..tapi sekarang hasrat itu sudah kesampaian,karena perkampungan suku Bajo tidak kalah dengan Maldivest,berikut laporannya....
Hidup diatas lautan,tapi bukan kapal pesiar melainkan rumah panggung tradisional yang didalamnya dilengkapi fasilitas air tawar dan listrik dan juga ada jaringan internetnya,sambil saya surfing di ìnternet sesekali merasakan angin semilir di lautan yang dapat membuat saya terbuai akan sentuhan anginnya sehingga saya pun terlena di suatu tempat yang membuat saya berpikir seakan hidup itu selalu dengan kedamaian,kalau hati sedang gundah bisa memandang ke dasar laut yang dalamnya hanya dua meter disitu berkejar kejaran ikan ikan beraneka warna diantara karang laut dengan riangnya.
Ternyata di Provinsi Gorontalo, Kabupaten Pohuwato , Kecamatan Popayato terdapat kampung diatas lautan yang bernama Torosiaje, kampungnya suku bajo yang berada di air laut Teluk Tomini yang berjarak sekitar 600 meter dari daratan. Torosiaje berasal dari kata "Toro" yang artinya Tanjung, kalau cara pengucapan suku bugis sebutannya koro dan "Si Aje" yang berarti panggilan untuk Pak Haji yang bernama Patta Sompa, nama warga pertama yang mendiami kampung suku bajo.
Mengapa Torosiaje disebut sebagai Kampung Suku Bajo? Menurut penuturan seorang ibu tempat kami nongkrong makan es campur,Suku Bajo sangat dominan dari suku lainnya. Padahal di Torosiaje tidak hanya suku Bajo saja yang hidup disini melainkan ada Suku Bugis, Makasar, Minahasa, Gorontalo, Mandar, Buton, Jawa dan Madura menjadi satu wilayah. Walaupun berbeda suku tapi mereka hidup rukun satu sama lain. Mayoritas warga di Torosiaje adalah beragama islam. Penghuni Torosiaje sekitar 1.400 jiwa penduduk,dan saat ini tidak ada izin untuk membuat rumah baru di komunitas itu lagi,kalau mereka ingin membuat rumah baru dianjurkan di daratan.

Rasanya kita tidak akan menyesal bila sudah sampai di Torosiaje karena keunikan, budaya dan juga cara hidup mereka selama di lautan akan membuat saya merasa puas dengan segala perbedaannya dari yang hidup di daratan,pengalaman ini sungguh mengesankan.
Pukul 08.30 WITA kami naik perahu  menyebrangi hutan mangrove yang berdampingan dengan lautan yang memakan waktu selama 15 menit saja. Jarak yang tak terlalu jauh dengan biaya kapal Rp. 5.000 pulang pergi sayangnya sewaktu kami bayar mereka tidak mau dengan harga tersebut jadi kami akhirnya membayar Rp60ribu untuk 4orang plus satu sepeda.
Melintasi perkampungan dengan kapal disertai aroma laut yang begitu khas dengan kesibukan penduduk yang hidup di kampung suku bajo terlihat normal seperti kita yang hidup di daratan.
Saya lihat kedasar laut terlihat warna warni koral dan aneka kehidupan laut,aku merasa mimpi jadi kenyataan sekarang,jadi aku ngga perlu ke Malvines lagi...wkwkk
Dari jauh terlihat komunitas rumah rumah diatas laut lengkap dengan dermaga kayunya,perahu kami masuk kebawah kolong kolong rumah penduduk,aku ingat film water world yang dibintangi Kavin Costner,penduduk melihat kami biasa biasa saja mungkin mereka sudah terbiasa dikunjungi turis seperti kami. Setelah mengelilingi komunal tersebut lalu perahu motor kami berhenti didermaga dan kami naik ke jalan kayu yang menghubungkan rumah rumah tersebut,dikomplek tersebut terdapat beberapa jalan atau jembatan kayu dan masing masing jalan mempunyai nama juga seperti nama nama jalan kita didarat.
Disana juga terdapat taman kanak-kanak, sekolah menengah dasar hingga sekolah menengah pertama bahkan ada juga lapangan untuk bermain bulu tangkis . Sungguh luar biasa kehidupan di lautan yang terlihat sama saja seperti kita di daratan. Sempat terpikir kalau mereka yang hidup di atas laut tidak akan pernah merasakan bangku sekolah atau mungkin bisa bermain atau oah raga selayaknya kita yang ada didaratan. Hanya saja sepeda kami tidak ada gunanya disini khawatir bersepeda disini bisa masuk laut atau nyeruduk orang...hehe.
Persepsi saya selama ini ternyata salah,kehidupan dilaut sama saja dan tidak ada perbedaan, Hanya tempat tinggalnya saja yang berbeda.
Penduduk di Torosiaje sangatlah ramah dengan segala keaneka ragaman budaya. Anak anaknya sedikit agak pemalu,mereka susah diajak berfoto bersama tapi Mereka bisa berbaur satu sama lain. Pekerjaan penduduk Torosiaje mayoritas adalah nelayan kalaupun ada yang petani itu hanya sekedar sampingan saja. Karena menurut mereka menjadi nelayan adalah pekerjaan utama yang selalu mendapatkan ikan setiap saat. Bahkan ditiap pekarangan rumah pasti ada keramba ikan. Mereka memelihara berbagai jenis ikan. Hasil tangkapan ikan yang mereka peroleh sebagian untuk diperjual belikan dan sebagian untuk makanan mereka sehari-hari. Ikan hasil tangkapan tidak pernah mereka simpan karena berapapun hasil tangkapan ikannya akan dengan segera mungkin mereka habiskan saat itu juga.
Kami mampir dan duduk disebuah cafe Thorsee namanya,cafenya didekorasi gaya punk disitu ada karaoke,kami pesan kopi disitu dan pelayannya seorang pria muda bertato dan saya coba cari informasi dari dia kemudian saya jalan kepojok lain tidak jauh dari cafe ada masjid dan madrasah bangunan ini sepertinya berdiri di darat dan muncul kepermukaan,saya coba masuk kesebuah rumah warga.yang buka warung dan es campur,rumahnya bersih dan tentu tidak ada debu sama sekali,saya pesan es campur,harga Rp5000/mangkok dari ibu Ani yang ternyata seorang Gorontalo dan tinggal dikomplek tersebut.
Umnya rumah rumah disitu tertata dengan rapi dan sangat bersih, memang beberapa kali saya masuk ke rumah suku bajo tersebut keadaannya selalu rapi dan bersih. Lantai yang saya pijak pun tidak berdebu ataupun terasa kotor.
Dari penduduk saya dapat info disitu juga ada Penginapan dengan tarif Rp. 100.000/malam.
Penginapan itu disediakan oleh pemerintah jikalau ada pengunjung yang berdatangan. Kamar disana yang tersedia hanya ada 6 kamar tidur dan 2 kamar mandi yang terletak diluar kamar tidur. Kalau pengunjung tidak kebagian penginapan saya rasa tidak perlu khawatir karena pengunjung lainnya bisa menginap di rumah warga dengan harga yang dapat mereka tentukan sendiri,atau bisa menompang tidur di masjid seperti gaya kami....nyari gratis teruuus.. hehe
Jam 12 dengan berat hati kampung suku Bajo atau surganya diteluk Tomini ini harus kami tinggalkan. Di siang hari dengan matahari yang makin menyengat kulit kami kembali ke jalan trans Sulawesi dan sepeda kami dayung lagi untuk meneruskan perjalanan ke arah Marisa yang masih berjarak 70km lagi,sore jam 18 kamu sampai di kota Marisa dan menginap di masjid Jamik.(bersambung).

No comments:

Post a Comment