Tiga hari istirahat di kota Luang Prabang yang berpenduduk sekitar 50.000 jiwa, kota kecil yang tenang dengan nuansa Buddha yang kental di berbagai sudutnya. Sejarahnya yang panjang telah membuat kota ini ditetapkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO. Berjalan-jalan di Luang Prabang, kita pasti akan teringat dengan suasana di Jogja atau ubud Bali yang Tenang, lambat, dengan aktivitas warga sehari-hari yang tampak sederhana.wajah teduh warga dan sapaan salam "Sabaydi" membuat kita merasa betah.Suasananya begitu tradisional dengan banyak bangunan kuil tua dan biksu-biksu berkain jingga. Kami mencoba explore negri ini dalam 3 hari.
Yang paling uniq ialah upacara Tak bat.
Menurut kepercayaan Buddha Theravada, para biksu tidak diperkenankan bertani dan memasak makanan sendiri. Satu-satunya cara menunjang kelangsungan hidupnya adalah dengan mengumpulkan sumbangan dari umat berupa makanan atau terkadang uang. Para biksu makan sekali sehari lewat pemberian itu, lalu hanya minum air sampai keesokan pagi.
Sebagian besar penduduk negara-negara Indocina seperti Thailand dan Laos merupakan penganut aliran Buddha Theravada. Jadi ritual Tak Bat ini tak hanya bisa dijumpai di Luang Prabang, tapi juga di kota-kota lainnya di Indocina seperti Bangkok dan Chiang Mai. Namun Tak Bat di Luang Prabang terlihat lebih hidup dan spektakuler karena kota kecil ini memiliki banyak biara dengan ratusan biksu yang setiap pagi melakukan upacara tersebut.
Keunikan ini pula yang mengundang wisatawan dari seluruh penjuru dunia mengunjungi Luang prabang. Tak pelak lagi, ritual Tak Bat sekarang menjadi atraksi wisata yang masuk dalam daftar wajib lihat bagi pelancong, bahkan turut dijual oleh agen wisata.
Pagi jam setengah enam kami sudah menuju pasar pagi yang terletak di pusat kota luang prabang atau di pasar pagi, kerumunan turis sudah terlihat di beberapa sudut jalan Luang Prabang.turis china cukup mendominasi waktu itu, turis bule juga cukup banyak, namun mereka hanya membentuk kelompok kecil-kecil sehingga tak terlalu mencolok,sedangkan kami mungkin tidak dianggap turis karena bentuk kami yang sama dengan warga local. Aku sendiri saat itu ikut duduk dengan warga local yang sedang memberikan sedekah
Di sudut lainnya, pedagang lokal menawarkan dagangannya dengan agresif. Mereka merayu semua turis yang lewat supaya membeli nasi ketan dan buah-buahan untuk diberikan pada biksu. Perlengkapan ritual Tak Bat seperti alas duduk dan selendang tradisional Laos tak lupa pula turut disewakan. Ritual tak Bat sudah menjadi lahan bisnis yang menggiurkan.
Aksi jual beli ini sebenarnya bertentangan dengan aturan ritual Tak Bat. Umat harusnya memasak sendiri makanan yang akan diberikan pada biksu, bukan membeli jadi dari pedagang jalanan. Tetapi para turis rupanya ingin terlibat langsung dalam upacara keagamaan itu, mereka tak puas hanya menonton.
Turis-turis tak hanya menonton, mereka juga ingin terlibat dalam ritual Tak Bat. Sekitar pukul 6 pagi, sudah mulai terlihat iring-iringan panjang para biksu yang berjalan dengan sikap meditasi, yaitu tidak berbicara dan melakukan kontak mata. Biksu senior berjalan paling depan, lalu diikuti biksu yang lebih muda di belakangnya. Semuanya harus membawa mangkuk yang nantinya akan terisi dengan makanan pemberian umat.
Iring-iringan biksu ini akan berjalan di depan orang-orang yang sudah menyiapkan sumbangan untuk mereka. Lalu tanpa berbicara sepatah kata pun, umat memasukkan sejumput makanan ke dalam mangkuk dan dilakukan terus-menerus sampai makanan yang mereka siapkan habis.
Selesai acara tak bat tersebut kami langsung menuju Kuangsi water fall yang berjarak 20km dari pusat kota Luangprabang,jalannya yang naik turun juga cukup memeras keringat kami hingga sampai diobjek wisata tersebut disitu kita akan menyaksikan penangkaran beruang jenis Hitam dan himalayan bear puas nonron beruang kami menuju air terjun yang bertingkat tingkat dan mandi beberapa saat di kolamnya yang sangat dingin itu.
Acara sore hari kami isi dengan mengunjungi puncak bukit pho si di pinggir sungai disini kita bisa menyaksikan sut set dan melihat kota Luangprabang yang begitu indah dan excotik,untuk masuk keaini kita harus merogoh kocek 20ribu kip.
Malam kami manfaatkan mengunjungi nitemarket,disini dijual berbagai jenis sovenir dari Luangprabang,bagi ibu ibu yang suka belanja disinilah tempatnya.
Disuatu sudut pasar ada warung yang sangat sederhana dengan menjual makanan vegetarian10.000kip ini sudah menjadi langganan kami selama di Luangprabang. Selesai makan kami menuju panggung festifal film asean yang segera akan memutar film indonesia "i am a Mollucan.
Tidak lama kami kembali pulang ke gues house untuk persiapan besok pagi keberangkatan ke border China Nam can.
Note: foto2 silahkan dilihat di fb.
Yang paling uniq ialah upacara Tak bat.
Menurut kepercayaan Buddha Theravada, para biksu tidak diperkenankan bertani dan memasak makanan sendiri. Satu-satunya cara menunjang kelangsungan hidupnya adalah dengan mengumpulkan sumbangan dari umat berupa makanan atau terkadang uang. Para biksu makan sekali sehari lewat pemberian itu, lalu hanya minum air sampai keesokan pagi.
Sebagian besar penduduk negara-negara Indocina seperti Thailand dan Laos merupakan penganut aliran Buddha Theravada. Jadi ritual Tak Bat ini tak hanya bisa dijumpai di Luang Prabang, tapi juga di kota-kota lainnya di Indocina seperti Bangkok dan Chiang Mai. Namun Tak Bat di Luang Prabang terlihat lebih hidup dan spektakuler karena kota kecil ini memiliki banyak biara dengan ratusan biksu yang setiap pagi melakukan upacara tersebut.
Keunikan ini pula yang mengundang wisatawan dari seluruh penjuru dunia mengunjungi Luang prabang. Tak pelak lagi, ritual Tak Bat sekarang menjadi atraksi wisata yang masuk dalam daftar wajib lihat bagi pelancong, bahkan turut dijual oleh agen wisata.
Pagi jam setengah enam kami sudah menuju pasar pagi yang terletak di pusat kota luang prabang atau di pasar pagi, kerumunan turis sudah terlihat di beberapa sudut jalan Luang Prabang.turis china cukup mendominasi waktu itu, turis bule juga cukup banyak, namun mereka hanya membentuk kelompok kecil-kecil sehingga tak terlalu mencolok,sedangkan kami mungkin tidak dianggap turis karena bentuk kami yang sama dengan warga local. Aku sendiri saat itu ikut duduk dengan warga local yang sedang memberikan sedekah
Di sudut lainnya, pedagang lokal menawarkan dagangannya dengan agresif. Mereka merayu semua turis yang lewat supaya membeli nasi ketan dan buah-buahan untuk diberikan pada biksu. Perlengkapan ritual Tak Bat seperti alas duduk dan selendang tradisional Laos tak lupa pula turut disewakan. Ritual tak Bat sudah menjadi lahan bisnis yang menggiurkan.
Aksi jual beli ini sebenarnya bertentangan dengan aturan ritual Tak Bat. Umat harusnya memasak sendiri makanan yang akan diberikan pada biksu, bukan membeli jadi dari pedagang jalanan. Tetapi para turis rupanya ingin terlibat langsung dalam upacara keagamaan itu, mereka tak puas hanya menonton.
Turis-turis tak hanya menonton, mereka juga ingin terlibat dalam ritual Tak Bat. Sekitar pukul 6 pagi, sudah mulai terlihat iring-iringan panjang para biksu yang berjalan dengan sikap meditasi, yaitu tidak berbicara dan melakukan kontak mata. Biksu senior berjalan paling depan, lalu diikuti biksu yang lebih muda di belakangnya. Semuanya harus membawa mangkuk yang nantinya akan terisi dengan makanan pemberian umat.
Iring-iringan biksu ini akan berjalan di depan orang-orang yang sudah menyiapkan sumbangan untuk mereka. Lalu tanpa berbicara sepatah kata pun, umat memasukkan sejumput makanan ke dalam mangkuk dan dilakukan terus-menerus sampai makanan yang mereka siapkan habis.
Selesai acara tak bat tersebut kami langsung menuju Kuangsi water fall yang berjarak 20km dari pusat kota Luangprabang,jalannya yang naik turun juga cukup memeras keringat kami hingga sampai diobjek wisata tersebut disitu kita akan menyaksikan penangkaran beruang jenis Hitam dan himalayan bear puas nonron beruang kami menuju air terjun yang bertingkat tingkat dan mandi beberapa saat di kolamnya yang sangat dingin itu.
Acara sore hari kami isi dengan mengunjungi puncak bukit pho si di pinggir sungai disini kita bisa menyaksikan sut set dan melihat kota Luangprabang yang begitu indah dan excotik,untuk masuk keaini kita harus merogoh kocek 20ribu kip.
Malam kami manfaatkan mengunjungi nitemarket,disini dijual berbagai jenis sovenir dari Luangprabang,bagi ibu ibu yang suka belanja disinilah tempatnya.
Disuatu sudut pasar ada warung yang sangat sederhana dengan menjual makanan vegetarian10.000kip ini sudah menjadi langganan kami selama di Luangprabang. Selesai makan kami menuju panggung festifal film asean yang segera akan memutar film indonesia "i am a Mollucan.
Tidak lama kami kembali pulang ke gues house untuk persiapan besok pagi keberangkatan ke border China Nam can.
Note: foto2 silahkan dilihat di fb.
No comments:
Post a Comment