Dua hari tinggal di kota Kuching tapi aku belum menemukan si "Meauuu" atau Kucing disitu,aku coba tanya sana sini dan cari google ternyata memang kota kuching ini kira kira 2 abad yang silam banyak kucingnya...sehingga penjajah inggris yang berkuasa menamakan kota tersebut Kuching...untung ngga dinamai "meau"city ya...hehe
Dulunya, area Sarawak, termasuk Kuching, adalah wilayah Sultan Brunei. Akhirnya dikelola oleh petualang Inggris James Brooke,hebat juga si Brooke ini,petualang pakai sepeda juga ngga ya....??wkwkk
Kuching sendiri, menurut pandangan ku selama 2 hari berkunjung ke sana, adalah kota yang rapih, nyaman, dan infrastruktur yang cukup maju. Jauh dibandingan dengan kota-kota lain di wilayah Kalimantan,apalagi sewaktu aku keluar dari perbatasan Aruk(indonesia) yang sulit aku ceritakan ketertinggalannya dan memasuki Border Biawak (Malaysia) rasanya aku masuk ke peradaban baru,tidak ada lagi bunyi klakson mobil yang seolah olah memaksa aku untuk menyingkir dari jalan itu.
Walaupun di luar kota tapi jalanannya tetap bersih,Setiap kira kira 500meter di pinggir jalan yang ada rumah penduduknya disediakan tempat sampah,jadi tidak terlihat lagi secuil sampahpun yang di buang kejalan kecuali daun daun pohon.
Penduduknya mayoritas beragama katolik dari suku Dayak Iban dan Tionghoa,dan makin dekat kekota kuching baru ditemukan suku Melayu yang identik dengan Moslem.
Tegur sapa penduduknya dalam bahasa melayu sangat ramah dan lembut,ada perasaan aman tinggal di negri ini.
Kami tinggal di hotel Arif dengan harga mal $49 per malam atau sekitar rp170ribu semalam.lokasi nya di depan masjid negara dan waterfront. Kami dapat discount hotel 30% karena keistimewaan untuk para pesepeda dari Indonesia....hebat ya...😊
Sahabat pesepeda kuching memantau sebelum kedatangan kami sampai berangkat lagi. Mereka adalah pak zick,pak Hasan,pak Mimik,Datok Kipli,dan ada juga pak Hen orang bukittinggi yang menetap di kuching,mereka adalah sahabat yang luar biasa baiknya sehingga aku seperti di negri sendiri.
Sewaktu memasuki border Aruk/Biawak kami kesulitan mendapatkan rumah makan muslim,pengalaman lama seperti di Laos terulang kembali aku harus makam mie telor dan telor rebus sampai bosan....😥😥
Membandingkan kehidupan di perbatasan miris rasanya melihat ketimpangannya kesejahteraannya,rasanya dengan hasil bumi kita yang sama dan ada sawitnya juga dan pertaniannya tapi koq kesejahteraannya berbeda,...apakah itu gunanya negara supaya ada perbedaan seperti kayu kayu dihutan ada yang tinggi dan ada yang pendek,ada yang dibabat dan dibakar orang dan ada yang dilindungi dan disayangi orang.....aduh pikiranku sudah ngaco......pesepeda tahu nya apa ya ..sorry ...hehe
Sangat jarang saya menjumpai polisi. Tapi warga di sana cukup tertib dalam berlalu lintas
Di Jakarta atau pekanbaru, tiap detik saya dengar suara klakson pada jam sibuk. Tapi,…ya maklum juga sih karena penduduknya cuma 10% nya Jakarta. Bersepeda di sana sama nyamannya dengan jika kita berkendara di jalan tol di luar kota. Jalan rata dan halus kayak pipinya artist. Sesekali ada juga macet, tapi tidak sehiruk pikuk penuh debu dan emosi seperti di pertigaan senen misalnya. Hari kedua aku jalan ke waterfront,china town dan India town,terlihat bangunan tua yang masih tetap dipertahankan. Besok in sya Allah kami akan kembali ke tanah air RI tercinta melewati border Tebedu/Entikong .
Banyak pembelajaran yang bisa aku ambil dari kota kuching ini.....semoga catatan kecil ini ada manfaatnya buat penggiat travelling sepeda.
Salam dari Meauuu...puuus...pus.😀😍🙄
No comments:
Post a Comment