Pages

Monday, September 8, 2025

 da Publik

Bismillah.
Gunung Bismo: Langkah di Antara Kabut dan Cahaya
Jam tiga pagi, aku dan Parno meninggalkan hangatnya hotel Travellink iin, berboncengan di atas motor Beet yang kecil tapi setia.
Jalanan sepi, dingin menyalip dari setiap celah, menusuk kulit seperti jarum halus. Lampu jalan yang jarang hadir membuat gelap terasa pekat, seolah kami sedang menembus perut malam.
Basecamp menyambut dengan cahaya lampu temaram dan suara Ranger yang tenang.
Tiket di tangan hanyalah selembar kertas, namun yang lebih berat adalah titipan pesan: apa yang boleh, apa yang tidak.
Di balik instruksi singkat itu, aku tahu gunung sedang mengingatkan: datanglah dengan rendah hati, jangan pongah.
Terselip kekhawatiran di dada. Usia tua ini adalah tas yang sudah penuh beban, sementara aku berangkat tanpa bekal yang memadai, tanpa sepatu gunung, tanpa senter, tanpa tongkat pendakian.
Namun bukankah setiap langkah manusia pada dasarnya memang serba terbatas? Justru karena keterbatasan itulah gunung memberi ruang untuk belajar ikhlas.
Jam 3.30 pagi, langkah dimulai.
Jalur lama, Sikunang, menanti.
Di depan, sekelompok remaja berjalan riang, lampu senter mereka bagai kunang-kunang yang menari di kegelapan.
Aku berharap cahayanya bisa jadi penuntunku. Selepas rumah-rumah penduduk, jalur semen licin oleh sisa hujan semalam.
MBegitu berganti tanah dan semak, jalanan semakin licin, bekas ban motor menorehkan parit yang curam.
Satu per satu pendaki muda melangkah ringan melewatiku.
Aku tertinggal, tapi tak sendiri.
Ada sepasang remaja yang memilih berjalan di belakangku, sabar menerangi jalan.
Hatiku hangat, sekaligus malu—usia renta ini ibarat batu yang tak lagi tajam, namun aku terus menghibur diri: gunung bukan ajang lomba, ia adalah ruang sunyi tempat setiap orang berproses dengan dirinya sendiri.
Ketika cahaya merah fajar mulai merambat di ufuk timur, hatiku ikut lega. Pos 2 terlewati, dan di Pos 3 sebuah mushola kecil berdiri di dekat warung. Aku berhenti, menunaikan sholat Subuh.
Dalam rukuk dan sujud, aku merasakan syukur yang sederhana: betapa nikmat bisa bersujud di ketinggian, betapa damai bisa mengingat-Nya di tengah perjalanan yang licin dan berat.
Selepas itu, jalur makin menanjak. Nafasku terengah, langkah makin pendek.
Setiap pijakan terasa seperti pertanyaan: mampukah aku terus?
Namun ketika akhirnya tiba di Pos 4, pertanyaan itu terjawab oleh keindahan: langit keemasan terbuka, golden sunrise menjelma permadani cahaya yang menebar ke seluruh lembah.
Di sana, para pendaki berdiri terpukau. Tenda-tenda berjejer, bendera berkibar, kamera-kamera berbunyi, namun ada juga wajah-wajah yang diam, hanya membiarkan cahaya meresap ke dada.
Aku ikut duduk, membiarkan sinar mentari membelai tubuh yang lelah.
Beberapa anak muda menghampiri, meminta berfoto bersama.
“Luar biasa, Pak, semangatnya!” kata mereka.
Aku hanya tersenyum, menahan haru. Sesungguhnya bukan semangat yang hebat, tapi keberanian untuk menerima diri yang rapuh.
Gunung Bismo, dengan tiga puncak yang menjulang di atas 2.400 mdpl, tak perlu kutaklukkan semua.
Bagiku, perjalanan ini sudah cukup mengajarkan: bahwa
"hidup adalah soal melangkah, bukan soal berlari, soal merendahkan hati, bukan membuktikan diri"
Dan ketika aku menuruni jalur yang sama, aku tahu satu hal: kabut, gelap, dan licin bukanlah penghalang—mereka hanyalah cara gunung mengajarkan bahwa setiap cahaya selalu lebih indah ketika lahir dari kegelapan.
Refleksi
Setiap gunung punya bahasanya sendiri.
Bismo tidak berteriak lewat ketinggian, tapi berbisik lewat kabut, jalan licin, dan sinar mentari yang pelan-pelan membuka cakrawala.
Ia mengajarkan bahwa usia bukanlah batas untuk melangkah, dan keterbatasan bukanlah alasan untuk berhenti.
Aku menyadari, perjalanan seperti ini bukan tentang berapa cepat sampai, bukan pula tentang seberapa tinggi puncak yang ditapaki.
Perjalanan adalah tentang keberanian menerima kelemahan, tentang syukur atas setiap pertolongan, dan tentang menemukan cahaya yang Tuhan titipkan—baik dalam senyum orang asing, dalam kesetiaan teman, maupun dalam fajar yang muncul setelah gelap.
Dan mungkin, itulah hadiah terbesar dari setiap pendakian: bukan puncaknya, melainkan hati yang kembali lebih ringan ketika turun.



No comments:

Post a Comment